Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Ngabuburit Keliling Desa: Menikmati Puasa, Memperkaya Pengetahuan

13 April 2022   05:44 Diperbarui: 19 April 2022   13:45 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melewati jalan makadam di tengah lahan tebu. Dokumentasi pribadi

Ngabuburit merupakan tradisi di bulan Ramadhan yang banyak dinanti dan dinikmati oleh kaum muslim. Mereka bisa menyambut datangnya buka puasa sembari jalan-jalan ke tempat keramaian atau berburu aneka makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Itulah mengapa tradisi ngabuburit juga memberikan kesempatan ekonomi kepada para pedagang.

Namun, sudah seminggu lebih saya berkeliling dari desa yang satu ke desa yang lain untuk ngabuburit. Saya biasanya ditemani putra bungsu yang duduk di bangku kelas dua SD. Dengan motor, kami berangkat pukul 16.00 WIB dari rumah, Jember. Sepanjang 1,5 jam, kami menyusuri jalan kota menuju jalan-jalan desa yang sudah beraspal, meskipun tidak jarang yang makadam.

Memilih desa-desa yang belum pernah kami kunjungi adalah prioritas. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan. Pertama, pengalaman menyusuri jalan baru di wilayah perdesaan menghadirkan sensasi tersendiri. 

Seringkali kami harus menemukan jalan buntu atau jalan rusak yang mengharuskan untuk berputar kembali ke jalan awal. Setidaknya, otak kami merekam peristiwa tersebut sebagai peristiwa kecil yang memberikan kesan tersendiri.

Hamparan persawahan merupakan berkah visual yang menyehatkan pikiran. Dokumentasi pribadi
Hamparan persawahan merupakan berkah visual yang menyehatkan pikiran. Dokumentasi pribadi

Tidak jarang pula saya bertanya kepada warga setempat. Keramahan mereka perlu dicatat dalam benak putra saya, agar ia mengetahui bahwa banyak orang baik dalam kehidupan ini. 

Banyak orang yang masih mempraktikkan "kesalehan sosial" secara sederhana. Di tengah-tengah kekhawatiran akan melunturnya solidaritas, setidaknya, warga desa masih menjaga kebaikan horisontal yang juga merupakan implementasi ajaran agama.

Kedua, dengan ke desa-desa yang belum pernah dikunjungi, banyak pengetahuan baru yang bisa didapatkan. Desa ini namanya apa? Masuk kecamatan apa? Warganya dari etnis apa? Pertaniannya bagaimana? Bagaimana kondisi sekolahnya? Adakah pesantren? Ada berapa masjid yang dijumpai dekat jalan? Dan, masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa menjadi kunci untuk mendapatkan pengetahuan.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan didapatkan ketika kita dengan teliti memperhatikan apa-apa yang dijumpai ketika memasuki desa-desa baru. Saya biasanya memberikan penjelasan singkat kepada anak bungsu terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak jarang pula ia mengembangkan pertanyaan-pertanyaan baru untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.

Melewati jalan makadam di tengah lahan tebu. Dokumentasi pribadi
Melewati jalan makadam di tengah lahan tebu. Dokumentasi pribadi

Dengan demikian, telah berlangsung proses pembelajaran yang tidak kaku, tidak membosankan. Mengenalkan potensi pertanian, pendidikan, dan religi serta kearifan sosial masyarakat merupakan materi-materi yang menyenangkan kalau disampaikan sembari menikmati perjalanan. 

Interaksi dinamis berupa tanya jawab tanpa beban, riang gembira, menjadi warna yang asyik, sehingga menjadikan perjalanan ke desa-desa baru sebagai 'sekolah bergerak'. 

Praktik 'sekolah bergerak' ini memiliki keuntungan tersendiri karena tidak terikat aturan formal yang seringkali dirasakan menjenuhkan. Di pinggir jalan ketika beristirahat dan di tengah mengendarai motor, proses bersekolah mengalirkan banyak informasi tentang desa, masyarakat, dan lingkungan mereka.

Ketiga, tidak jarang kita bisa menemui permasalahan yang memprihatinkan. Di desa-desa Jember kami menemukan permasalahan ekologis yang cukup memprihatinkan. Banyak gumuk (bukit yang terdiri atas pasir, tanah, dan batu) yang rata dengan tanah atau dalam proses pengerukan oleh alat berat seperti buldoser. 

Gumuk yang dibongkar. Dokumentasi pribadi
Gumuk yang dibongkar. Dokumentasi pribadi

Gumuk adalah kekayaan lingkungan langka yang dimiliki Jember.  Sewaktu saya menempuh pendidikan S1 (1996-2002), masih banyak gumuk di Jember. 

Sayangnya, sejalan dengan proses pembangunan infrastruktur dan perumahan, saat ini banyak gumuk yang dibongkar untuk diambil pasir, tanah, dan batunya. Dampak seriusnya adalah semakin panasnya hawa Jember karena angin dari Laut Selatan tidak ada yang menahan. 

Aspek ekonomis yang cukup menggiurkan menjadikan para pemilik gumuk membongkarnya. Dari satu gumuk mereka bisa mendapatkan ratusan juta sampai hitungan milyar. 

Ini memang menjadi masalah serius karena banyak gumuk di Jember menjadi milik pribadi. Sementara, pemerintah kabupaten tidak menganggarkan untuk membeli gumuk-gumuk tersebut.

Kami akan berhenti sejenak untuk melihat-lihat gumuk yang dibongkar. Menuturkan proses terjadinya gumuk yang diduga berasal dari letusan gunung berapi purba di Jember tidak lupa saya lakukan. 

Setidaknya si bungsu jadi tahu asal-muasal gumuk, meskipun masih perlu diteliti secara lebih serius. Menjelaskan fungsi ekologis gumuk pun memunculkan perbincangan yang asyik. 

Tak lupa saya berpesan agar kalau ia punya uang banyak di masa depan, sebaiknya membeli gumuk, tetapi bukan untuk dibongkar. Alih-alih, dipertahankan sebagai kawasan konservasi tumbuhan endemik seperti bambu dan yang lain. Kalaupun mau dikembangkan bisa dijadikan kawasan wisata minat khusus konservasi dan camping. 

Menanamkan kesadaran ekologis sejak usia dini menjadi aktivitas yang tidak selalu dogmatik, tetapi rekreatif. Setidaknya generasi penerus memiliki pengetahuan awal tentang pentingnya untuk mempertahankan kekayaan lingkungan, sehingga ke depan mereka memiliki hasrat untuk mengembangkan keadilan ekologis sebagai bentuk pertanggungjawaban sebagai manusia. 

Gubuk di tengah sawah. Dokumentasi pribadi
Gubuk di tengah sawah. Dokumentasi pribadi

Keempat, menghayati berkah visual yang diberikan Tuhan merupakan alasan berikutnya kenapa harus ngabuburit ke desa. Sehari-hari di kota, bermacam baliho dan banner di pinggir jalan, dari sosok pemimpin kabupaten, iklan, hingga anggota DPRD/DPR RI menjadi pemandangan sehari-hari di jalan. Itu semua merupakan 'sampah visual' yang menjenuhkan. Maka, menikmati keindahan visual desa merupakan salah satu mekanisme untuk menetralisir dampak negatif sampah visual. 

Keindahan sebagai anugerah Tuhan Sang Pengasih yang dikelola oleh warga desa menjadi hamparan persawahan nan hijau merupakan berkah sekaligus 'asupan visual' yang harus disyukuri sehingga kita tidak mudah punya nafsu merusaknya. Tuhan memberikan yang terbaik untuk manusia, sudah sepatutnya manusia mau untuk mengelolanya secara berkelanjutan. 

Sembari menikmati hamparan sawah nan indah, kita bisa memberikan penjelasan singkat tentang bakti dan pengabdian para petani terhadap bangsa dan negara. Di tengah-tengah mahal dan sulitnya pupuk, mereka masih setia menanam padi dan tanaman pangan lainnya. Kita bisa membayangkan kalau mereka mogok tanam, apa yang akan terjadi. Tentu krisis multidimensi yang mencekam. 

Sepanjang jalan banyak keindahan visual. Dokumentasi pribadi
Sepanjang jalan banyak keindahan visual. Dokumentasi pribadi

Paparan singkat di atas, setidaknya menunjukkan betapa ngabuburit bisa kita maknai ulang dengan semangat untuk memperkaya pengetahuan dan mensyukuri anugerah terindah dari Tuhan. 

Bulan Ramadhan tidak hanya menjadi ajang untuk memperbanyak amal di masjid, tetapi juga menjadi momen untuk mempertebal kecintaan kita terhadap Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara belajar untuk memperkaya pengetahuan dan memperkuat kesadaran ekologis. Bukankah agama memerintahkan kita untuk selalu iqra' dan iqra'?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun