Secara garis besar film Mengejar Mas Mas (Rudy Sujarwo, 2007) menceritakan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialami oleh dua tokoh sentral, Shanaz (Poppy Sovia) dan Ningsih (Dina Olivia). Keduanya mempunyai latar belakang kehidupan sosial yang berbeda, tetapi bertemu dalam ruang sosial kelas bawah di Yogyakarta; sebuah ruang di mana mereka bersama-sama harus menghadapi konflik sosial, baik di antara mereka sendiri, masyarakat, maupun laki-laki pujaan mereka, Parno alias Suparno.Â
Shanaz, seorang mahasiswi dari Jakarta, mempunyai kehidupan sosial-ekonomi yang lebih dari cukup. Sementara, Ningsih, seorang pelacur yang mempertaruhkan tubuhnya di Kompleks Pasar Kembang demi menyambung hidup di Yogya. Sementara, Parno adalah pemuda Jawa yang lugu dan mempunyai profesi sebagai pengamen di Malioboro Yogya.
Semua berawal dari rasa bersalah Shanaz atas kematian yang menimpah ayahnya. Ia merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan kematian ayah yang dicintainya. Ayah kelelahan setelah menggendong Shanaz yang tertidur, akibatnya ia terkena serangan jantung. Kesedihannya menjadikan ia marah dan mengatakan ibunya sendiri sebagai pelacur ketika ia mengetahui rencana pernikahannya dengan Om Thomas.Â
Di tengah-tengah segala kesedihan dan kemarahannya, ia memutuskan pergi ke Yogya untuk menyusul pacarnya yang sedang mendaki Gunung Merapi. Sesampai di sana, ia kebingungan karena tidak tahu harus ke mana, apalagi uang sakunya sudah habis. Di dalam sebuah gang, ia diganggu oleh seorang preman, namun akhirnya diselamatkan Ningsih dengan mengatakan bahwa Shanaz adalah saudaranya.Â
Shanaz, untuk sementara, diajak menginap di rumah kos Ningsih. Pada hari berikutnya, Shanaz pamit untuk pergi, tetapi pacarnya belum turun juga dari gunung. Kembali ia bertemu dengan si preman, yang mendekap dan memukulnya ketika ia berusaha melarikan diri. Parno datang di saat yang tepat sehingga preman itu lari setelah menerima pukulannya. Ia membawa Shanaz kembali ke rumah kos Ningsih.Â
Deskripsi singkat di atas memperlihatkan adanya usaha untuk merepresentasikan kebaikan hati seorang pelacur di balik semua praktik "kehidupan remang-remang" yang selalu dinegatifkan oleh konsensus masyarakat. Karena film ini berbicara tentang kehidupan pelacur, narasi filmisnya tidak bisa sepenuhnya lepas dari representasi stereotip tentang citra diri seorang pelacur seperti yang ada dalam wacana ideologis konsensual masyarakat, meskipun tetap menekankan aspek-aspek kemanusiaan yang dimilikinya.
STEREOTIPISASI PEREMPUAN PELACURÂ
Perempuan pelacur dan semua yang dilakukannya dalam "jagat remang-remang" selalu memunculkan stereotipisasi yang mewujud dalam wacana-wacana khas dalam masyarakat, dari rasan-rasan di warung hingga pangkalan becak. Perempuan pelacur, nyatanya, ada dan hidup dalam praktik sosial masyarakat.Â
Namun, kehadiran mereka adalah liyan yang dikategorikan secara umum sebagai subjek yang tidak bisa hidup dalam kenormalan sosial karena apa yang mereka lakukan merupakan aib yang menjadikan tatanan dan nilai sosial tercoreng. Tak peduli berapa besar potensi ekonomi mandiri mereka dalam menjalani kehidupan, pelacur tetaplah subjek yang sudah seharusnya dibicarakan ataupun direpresentasikan secara negatif dan dieksklusi dari sistem sosial.Â