Kita berjumpa pada sebuah masa. Senyummu mengalir bersama air kali begitu keruh. Endapan demi endapan lumpur kau pungut dalam doamu, dalam semedimu, dalam lelakumu. Tak jua lelah menghampir. Tak jua hujan menghentikan semua langkah kecil. Â
Kita berjumpa pada sebuah ruang. Ada dendam merayap. Ada rindu memanggil. Semua luruh bersama sebuah senyum. Mengendap pada batin selalu kering. Satu per satu huruf menempel pada papan-papan retak oleh zaman. Satu per satu uban melukis waktu, membentang beribu cerita tak sempat terucap.
Kita bersama dalam gugusan gunung, mendaki hidup begitu senyap: "Jangan pernah merasa tinggi karena kabut akan membunuhmu dalam desakan angin. Biarlah orang-orang menumpuk kuasa di meja makan, kita mesti terus bersama mereka yang selalu dikalahkan meski dalam mimpi-mimpi panjang." Begitu selalu kau ucap lewat malam-malam membeku bersama api di dalam tungku.
Kini aku menatapmu. Lukisan wajah itu kau pudarkan sendiri. Suara lantangmu perlahan mengukur hitung-hitungan di atas meja jamuan:
"Mereka mengajakku menulis cerita baru. Aku ingin menolak tembang manis penghantar tidur. Aku tetap ingin di pusaran sumpah sejatinya mesti dijaga, tetapi gemuruh barisan mereka menuju pendopo begitu indah. Kadang aku berpikir orang-orang bersuara suci itu memang sepantasnya duduk tersenyum menebar harum. Aku tetap ingin di sini; tak mungkin berjalan bersamamu karena akan menggusur keinginanku bersama mereka."
Kini, aku masih menatapmu. Mantra-mantra agung dulu merambat pasti dari bibir lantangmu, kini perlahan menguap bersama gurih dan harum menerbangkanmu, menuju kebahagiaan yang masih dijanjikan, mengajakmu berpesta dalam pepujian para pendamba menghitung kembang.
Kini, aku memang masih menatapmu; diam menjadi penyaksi.
Jember, 05 April 2022
SUARA-SUARA SUCI
Dari mana datangnya suara-suara itu? Suara-suara mengabarkan kesucian terus dijaga. Suara-suara mendendangkan kepasrahan para insan.
Aku gelisah. Kita gelisah. Ingin sekali rasanya menggugat, tapi kuwalat adalah laknat. Kita berteriak sambil menutup telinga. Apalah daya, ribuan kalimat suci kembali menghantam. Selaput tipis keberanian mulai lebam.
Selalu saja Tuhan dikorbankan, disucikan, dihidupkan. Tapi hanya diucapkan dalam manisnya tangis. Hanya diwarnakan dalam hijaunya tembok. Dijadikan tumbal sebuah persekongkolan manis di ruang-ruang yang katanya akademis.
Suara-suara itukah yang mesti kita jadikan panutan? Kita ajarkan pada manusia-manusia pencari? Suara-suara itukah yang mesti kita nomorsatukan? Kita junjung setinggi langit mengalahkan otak sendiri?
Aku, kita, memang tak berdaya: tak kuasa melawan ribuan pepuji. Tapi bukan berarti harus diam, bukan berarti harus kalah. Kata-kata memang bukan pedang menghunus, tapi jiwa yang selalu menuntut merdeka; kesepakatan yang selalu bergerak menembus barikade malaikat yang dipaksa.
Jember, 29 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H