Dari mana datangnya suara-suara itu? Suara-suara mengabarkan kesucian terus dijaga. Suara-suara mendendangkan kepasrahan para insan.
Aku gelisah. Kita gelisah. Ingin sekali rasanya menggugat, tapi kuwalat adalah laknat. Kita berteriak sambil menutup telinga. Apalah daya, ribuan kalimat suci kembali menghantam. Selaput tipis keberanian mulai lebam.
Selalu saja Tuhan dikorbankan, disucikan, dihidupkan. Tapi hanya diucapkan dalam manisnya tangis. Hanya diwarnakan dalam hijaunya tembok. Dijadikan tumbal sebuah persekongkolan manis di ruang-ruang yang katanya akademis.
Suara-suara itukah yang mesti kita jadikan panutan? Kita ajarkan pada manusia-manusia pencari? Suara-suara itukah yang mesti kita nomorsatukan? Kita junjung setinggi langit mengalahkan otak sendiri?
Aku, kita, memang tak berdaya: tak kuasa melawan ribuan pepuji. Tapi bukan berarti harus diam, bukan berarti harus kalah. Kata-kata memang bukan pedang menghunus, tapi jiwa yang selalu menuntut merdeka; kesepakatan yang selalu bergerak menembus barikade malaikat yang dipaksa.
Jember, 29 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H