Mengadopsi ketenaran Gembyangan Waranggono Nganjuk, Pemerintah Kabupaten Tuban menyelenggarakan Siraman Seniman Langen Tayub di Sendang Bektiharjo, sebuah tempat rekreasi yang sangat terkenal di dekat kota Tuban. Tayub adalah kesenian rakyat berupa tari pergaulan yang cukup populer.
Sebelum tahun 2013, acara ini disebut Siraman Waranggono karena hanya diikuti calon waranggono yang hendak diwisuda setelah mendapatkan pelatihan menari dan nembang (menyanyi lagu-lagu Jawa). Namun, sejak tahun 2013 diubah dengan nama Siraman Seniman Langen Tayub karena tidak hanya calon waranggono yang ikut, tetapi juga para waranggono senior, danyang (semacam asisten sindir), pramugari (pimpinan pertunjukan tayub), dan pemimpin kelompok tayub.
Mengapa dilaksanakan di Sendang Bektiharjo? Ada anggapan publik bahwa sendang ini merupakan tempat sakral karena dikaitkan dengan sejarah masa lalu Tuban. Dengan demikian, ada harapan bahwa setelah menjalani doa dan ritual di sendang ini, para waranggono bisa lancar dalam menjalankan profesi mereka, baik di Tuban maupun kabupaten tetangga seperti Lamongan dan Bojonegoro.
Meskipun sulit dilacak kebenaran historisnya, cerita lisan yang berkembang di masyarakat seolah-olah meyakini sendang ini sebagai tempat sakral. Keyakinan akan kesakralan itulah yang mendasari diselenggarakannya acara Siraman di sini. Sama dengan Gembyangan, Siraman juga mengambil simbol sumber air sebagai bentuk harapan agar kesenian tayub di Tuban bisa terus 'mengalir' untuk memberikan hiburan dan pesan-pesan identitas kultural kepada masyarakat luas.
wisata yang sejuk, dengan air sendang yang berasal dari bebatuan kapur dengan pohon-pohon besar menjulang. Keterkenalan tempat ini sebagai destinasi wisata andalan masyarakat Tuban merupakan pertimbangan ekonomi dipilihnya acara pelantikan calon sindir di tempat ini.
Terlepas dari kesakralan tersebut, Sendang Bektiharjo merupakan tempatHampir sama dengan Gembyangan Waranggono, ritual Siraman Seniman Langen Tayub juga mengusung simbol-simbol ketradisionalan berupa busana ningrat yang dikenakan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamya. Para sinden senior dan pramugari mengenakan busana adat.
Dipakainya busana adat ini bisa ditafsir dalam beberapa sudut pandang. Secara semiotik, busana adat merupakan penanda dari keadiluhungan masa lampau yang dihadirkan kembali di tengah-tengah modernitas yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga.
Penghadiran-kembali makna ketradisionalan ini merupakan selebrasi 'mata-rantai penanda' yang selalu dipelihara dalam memori komunal masyarakat melalui kurikulum pendidikan serta acara-acara lain yang dihelat oleh pemerintah kabupaten. Selain itu, busana tradisional bergaya mataraman juga menjadi tanda indeksikal-berjarak dari ketradisionalan itu sendiri.
Artinya, ia menjadi penunjuk identitas tradisional yang belum dilepaskan sepenuhnya dari kesadaran kultural masyarakat, meksipun ia juga tidak lagi menjadi orientasi dan praktik dominan. Namun, ketradisionalan tersebut tetap bisa dipanggil-kembali dan dimobilisasi untuk urusan-urusan tertentu, seperti ritual ini.
Dalam hal visualitas dan ekonomi, busana tradisional akan memperindah performance ritual dan sekaligus memberikan kesan kepada pengunjung yang sudah terbiasa mengenakan pakaian modern bergaya metropolitan. Dengan demikian, dalam benak pengunjung, baik warga Tuban maupun luar, akan muncul kekaguman sekaligus ketertarikan terhadap acara ini.
PROSESI SIRAMAN
Selain busana, prosesi ritual yang dilangsungkan dalam praktik-yang-dikesankan-sakral juga memunculkan kesan eksotis tersendiri. Kesan sakral itu dikonstruksi melalui beberapa tahapan ritual.
Pertama, kedatangan bupati/wakil bupati beserta jajaran pimpinan daerah disambut oleh para peserta ritual (waranggono dan pramugari) layaknya kedatangan raja. Seorang lelaki pembawa payung mengiringi si pimpinan. Sementara, di bagian belakang adalah barisan para calon waranggono yang akan diwisuda dan waranggono senior serta para pramugari. Penghadiran-kembali iring-iringan 'raja' menjadi makna visual yang dilekatkan dengan kesakralan.
Secara semiotik, prosesi tersebut bisa dibaca sebagai bentuk penghormatan terhadap pimpinan daerah yang dianggap mampu memberikan kebajikan berupa kebijakan. Pimpinan daerah dianggap memiliki kepedulian terhadap usaha pemertahanan kesenian lokal yang oleh para pemuka agama diyakini sebagai praktik estetik yang mengandung unsur maksiat. Atas kebajikan tersebut, mereka perlu mendapatkan penghormatan layaknya seorang raja.
Penghadiran kesenian lain, seperti kuda lumping dan campursari, dimaksudkan untuk lebih meramaikan ritual yang diselenggarakan oleh negara. Orientasi menjadikan acara ini sebagai atraksi wisata menjadi alasan utama untuk menghadirkan kesenian-kesenian lokal lain. Hal itu bisa dipahami karena kalau hanya acara ritual siraman, maka agenda wisata tetap Pemkab Tuban ini akan terkesan kurang ramai.
Paling tidak, sembari menunggu ritual siraman, penonton yang sebagian besar wisatawan lokal bisa menikmati atraksi-atraksi kesenian yang bersifat menghibur. Selain itu, tambahan pagelaran ini juga dimaksudkan untuk mempromosikan kekayaan budaya lokal yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat Tuban.
Tahapan ritual berikutnya adalah pemberian air untuk siraman yang diberikan oleh pimpinan daerah kepada perwakilan calon waranggono. Air untuk siraman ditaruh di dalam wadah gerabah, tidak lupa diberikan kembang aneka warna. Penghadiran kembang aneka warna memang berkaitan erat dengan ritual dalam tradisi Jawa yang dimaksudkan sebagai pelajaran bagi para pesinden bahwa mereka akan menghadapi bermacam keadaan dan tantangan dalam menjalani profesi tersebut.
Diharapkan mereka selalu ingat dan berusaha mengembangkan kepribadian dan kemampuan yang menjadikan kesenian ini selalu dicintai oleh para pengibing dan masyarakat secara luas. Sementara, air dalam wadah gerabah dimaksudkan sebagai simbol dari penyucian para waranggono dari niat-niat jelek dalam berkesenian serta dalam keadaan apapun mereka diharapkan selalu ingat asal-usul manusia yang berasal dan akan kembali ke dalam tanah.
Setelah itu, semua peserta beriringan menuju Sendang. Para calon waranggono mengenakan gaun yang terkesan glamor. Ini merupakan upaya untuk memperindah ritual dengan kesan modern. Bagaimanapun juga, ritual harus tampak mewah dan megah agar agar tampak indah untuk kepentingan publikasi dan promosi.
Selain itu, gaun modern menandakan sikap terbuka para seniman terhadap modernitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Mereka harus mau mengadopsinya secara liat agar bisa survive di tengah-tengah perubahan selera budaya masyarakat. Warna putih bisa juga dibaca sebagai ketetapan hati (niat) para calon waranggono untuk mengembangkan budaya lokal dan tidak melakukan hal-hal negatif yang bisa memperkuat stigma negatif di masyarakat.
Setelah semua rangkaian di atas selesai, para waranggono dan pramugari menuju Sendang Bektiharjo. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya para calon waranggono, waranggono senior, dan pramugari cukup membasuh muka mereka dari air sendang yang ditaruh di wadah gerabah besar, pada tahun 2014 mereka harus masuk ke dalam sendang sampai di lutut, sehingga pakaian bagian bawah basah.
Kalau dicari-cari makna filosofis dari acara di atas mungkin dimaksudkan agar mereka berkah alam semesta dalam menjalani karir dalam dunia pertunjukan tayub. Namun, menurut kami, hal itu lebih dimaksudkan untuk menambah keatraktifan acara Siraman di mata para pengunjung. Aspek atraktif masuk ke sendang tentu akan berbeda dengan sekedar membasuh muka, sehingg para penonton pun bisa menikmati peristiwa eksotis seperti ketika para bidadari turun dan bermain air di sendang.
Adegan siraman di Sendang Bektiharjo merupakan eksotisasi visual dari masa lampau ketika para gadis atau ketika para bidadari dalam cerita rakyat mandi di sendang. Adegan di sendang tersebut merupakan usaha untuk membuat realitas baru yang melebihi realitas itu sendiri, karena dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak ada waranggono yang mandi di sendang.
Sebagai adegan kreatif, menceburkan diri ke sendang merupakan usaha untuk memunculkan makna atau kesan dalam benak penonton ataupun pewarta media terkait keindahan dan keatraktifan ritual ini. Harapannya, tentu saja, mereka akan kembali menonton acara serupa pada tahun berikutnya. Sementara, bagi para pewarta diharapkan mereka akan memberitakan kegiatan ini ke khalayak luas.
Dengan pemberitaan luas itulah, pemkab menaruh harapan bahwa akan semakin penonton dari Tuban maupun luar daerah serta mancanegara yang tertarik untuk datang pada Siraman. Artinya, makna simulakra dari ritual tersebut bukan lagi semata-mata dilekatkan untuk kepentingan simbolik pelestarian. Lebih dari itu, kepentingan ekonomi pariwisata budaya merupakan kepentingan dominan yang menggerakkan acara ini.
ANTARA KEPENTINGAN EKONOMI PARIWISATA DAN PEMBERDAYAAN SENIMAN TAYUB
Adalah sebuah gejala umum di masa selepas Reformasi dan otonomi daerah di mana masing-masing provinsi dan kabupaten seperti berlomba-lomba memunculkan dan mempopulerkan kekayaan budaya lokal mereka di tengah-tengah geliat modernitas sebagai akibat pembangunan yang berlangsung. Paling tidak, terdapat dua alasan utama yang menjadi dasar pemerintah kabupaten untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pariwisata budaya, sepertihalnya Siraman Seniman Langen Tayub di atas.
Pertama, untuk melestarikan kesenian tradisional warisan leluhur yang dikonstruksi memiliki nilai dan filsafat adiluhung. Praksis pelestarian dimaksudkan agar masyarakat di kabupaten tertentu tidak mudah melupakan identitas lokal mereka yang dalam beberapa hal berbeda dengan masyarakat kabupaten lain.
Persoalan identitas kabupaten ini menjadi penting karena sejalan dengan otonomi daerah yang memberikan wewenang pelestarian dan pengembangan budaya lokal kepada masing-masing kabupaten, meskipun untuk urusan-urusan kebudayaan dalam lingkup nasional masih diatur oleh pemerintah pusat.
Pelestarian tayub, baik di Nganjuk, Tuban, maupun Lamongan, di satu sisi memang memunculkan permasalahan dilematis karena menguatnya kekuatan tokoh agama tertentu yang menganggap dan memosisikan kesenian ini penuh dengan kemaksiatan. Di sisi lain, tayub masih menjadi kesenian populis yang digemari banyak anggota masyarakat di masing-masing kabupaten.
Pilihan untuk menggelar acara seremonial merupakan bentuk jalan tengah yang ditempuh rezim kabupaten guna memberikan legitimasi kepada kesenian tayub untuk tetap bisa berkembang sekaligus menertibkan para pelakunya sehingga bisa diarahkan agar tidak terlalu berlebihan dalam melangsungkan sikap dan perilaku maksiat dalam pertunjukan.
Dengan strategi tersebut, rezim kabupaten tetap mendapaktan keuntungan, yakni mereka tetap bisa mendorong berkembangnya identitas daerah sekaligus mendapatkan simpati publik, khususnya masyarakat penggemar tayub, yang bisa meninggikan nilai tawar politis mereka di mata warga. Lebih jauh lagi, mereka juga akan mendapatkan apresiasi dari rezim negara di atasnya, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Kedua, sejalan dengan otonomi daerah, masing-masing pemerintah kabupaten dituntut untuk mengembangkan usaha yang bisa memperbesar pemasukan dana. Pariwisata budaya dengan menampilkan keunikan kultural yang dimiliki masyarakat setempat menjadi pilihan yang paling mudah dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait.
Pemerintah sangat menyadari bahwa sebesar apapun pengaruh modernitas dalam kehidupan warga, mereka masih belum bisa meninggalkan sepenuhnya tradisi maupun kesenian yang diwariskan oleh nenek-moyang. Dengan kata lain, masyarakat lokal masih menyimpan memori dan kegemaran kolektif terhadap atraksi kultural yang mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan kewilayahan.
Ketika kesenian lokal yang selama ini menjadi kegemaran komunal di-ritual-kan dalam program pariwisata, masyarakat pendukungnya pun akan menyambut dengan antusias. Kedatangan mereka tentu dalam agenda pariwisata budaya Siraman Seniman Langen Tayub, memang tidak bisa langsung mendongkrak pemasukan daerah, karena mereka tidak dipungut biaya.
Namun, pembesaran oleh media dari acara-acara tersebut tentu diharapkan akan mendatangkan wisatawan lokal dari daerah lain dan wisatawan mancanegara. Kedatangan mereka tentu diharapkan akan menggerakkan roda perekonomian, seperti perdagangan sektor informal maupun perhotelan yang berpotensi memberikan tambahan pemasukan kepada pemerintah kabupaten.
Lalu, bagaimana dampak dari kegiatan yang diselenggarakan oleh rezim kabupaten terhadap para tandhak/waranggono maupun seniman tayub lainnya seperti pramugari dan pengrawit? Secara kultural, ritual-ritual yang melibatkan waranggono serta pembinaan mental dan teknik koreografi kepada para seniman langen tayub memang membawa perubahan, meskipun tidak secara menyeluruh, khususnya terkait stigmatisasi yang diberikan masyarakat. Setidaknya, stigmatisasi negatif mulai berkurang.
Masuknya kesenian tayub dalam agenda pariwisata budaya di Tuban, pertama-tama, dibaca sebagai bentuk penghargaan pemerintah terhadap kesenian rakyat yang selama ini oleh kalangan agamawan diposisikan mengumbar maksiat. Dengan agenda ini dan juga kegiatan-kegiatan pembinaan, para waranggono, khususnya, mendapatkan legitimasi terkait aktivitas kesenian mereka, sehingga lambat-laun masyarakat bisa memberikan persepsi yang lebih positif, “bersusila”, “berbobot”, dan “sopan”.
Pada masa lampau kebalikan dari ketiga istilah tersebut, yakni “asusila”, “tidak berbobot”, dan “tidak sopan”, menjadi stigma yang dominan, khususnya yang dilontarkan oleh kaum agamawan. Terlepas dari usaha rezim pemerintah untuk menginkorporasi kesenian tayub sebagai bagian proyek politik dan proyek pariwisata budaya, para seniman juga bisa menegosiasikan kepentingan mereka di tengah-tengah semakin gencarnya dakwah keagamaan di wilayah pedesaan sebagai basis perkembangan tayub.
Dengan mendapatkan legitimasi yang berarti juga mendapatkan perlindungan dalam regulasi negara, para waranggono tidak lagi harus dirisaukan oleh suara-suara miring yang menuntut pelarangan kesenian ini di tengah-tengah masyarakat, meskipun tidak berarti tuntutan itu hilang sepenuhnya.
Selain itu, ritual Siraman, bisa menjadi promosi awal bagi para sindir/waranggono pemula yang baru di-wisuda. Kehadiran mereka dalam kedua ritual tersebut bisa menjadi penegas eksistensi mereka selanjutnya dalam jagat tayub di kedua kabupaten maupun kabupaten-kabupaten tetangga yang membutuhkan gerak tari dan kelembutan suara mereka dalam pertunjukan.
Apalagi, di dalam ritual, mereka juga bertemu dengan para pramugari dan penggila tayub, sehingga perkenalan awal itu bisa menjadi pintu masuk bagi mereka agar dikenal dan direkomendasikan untuk “ditanggap” dalam pertunjukan-pertunjukan tayub berikutnya. Berdasarkant data tahun 2019, para waranggono mendapatkan rezeki ekonomi sebesar Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 500.000 bagi pemula dalam setiap pertunjukan, dari siang selepas Dzuhur ampai sebelum Subuh.
Pendapatan tersebut bisa berlipat-ganda, dari Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 4.000.000 ketika mereka semakin sering diundang pentas dan semakin dikenal oleh publik penikmat tayuban. Seperti Wantika, waranggono Tuban, yang bertarif Rp. 4.000.000 dalam setiap pertunjukan tayub.
Dengan penghasilan itulah mereka bisa membayar kredit sepeda motor atau, bahkan, mobil, membangun rumah, memenuhi kebutuhan keluarga, hingga membiayai sekolah anak-anak mereka. Sekali lagi, bagi para tandhak pemula, keterlibatan mereka dalam ritual Gembyangan ataupun Siraman menjadi penanda awal keberadaan mereka dalam dunia tayub yang penuh dinamika; menawarkan rezeki ekonomi sekaligus menuntut siasat-siasat tubuh di tengah-tengah sorotan dan keliaran mata para penayub.
Sementara, bagi waranggono dan pramugari senior kehadiran mereka lebih untuk memberikan dorongan atau semangat kepada para waranggono pemula. Tentu saja, itu tujuan ideal yang diharapkan oleh rezim negara. Meskipun demikian, banyak diantara mereka berkeluh-kesah terkait mahalnya biaya untuk berpartisipasi dalam ritual.
Beberapa waranggono senior Tuban mengatakan bahwa untuk berdandan dan kebutuhan-kebutuhan lain dalam siraman, paling sedikit mereka harus menyediakan dana Rp. 1.000.000. Mereka tidak bisa mengelak dari ritual tersebut karena diwajibkan oleh dinas terkait.
Memang muncul sedikit keluhan, tetapi tidak sampai menjadikan mereka berani untuk tidak hadir dalam acara Siraman. Paling tidak dengan hadir di acara tersebut, para waranggono dan pramugari senior menunjukkan dukungan mereka terhadap upaya rezim negara untuk terus melegitimasi kesenian tayub sebagai bagian sah dari budaya lokal. Dengan demikian, mereka pun tetap bisa melanjutkan ikhtiar kultural sekaligus ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H