Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menengok Siraman Seniman Langen Tayub di Sendang Bektiharjo Tuban

7 April 2022   08:11 Diperbarui: 14 April 2022   10:30 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyambut pejabat dalam Siraman 2012. Dok. Pemkab Tuban

Dengan mendapatkan legitimasi yang berarti juga mendapatkan perlindungan dalam regulasi negara, para waranggono tidak lagi harus dirisaukan oleh suara-suara miring yang menuntut pelarangan kesenian ini di tengah-tengah masyarakat, meskipun tidak berarti tuntutan itu hilang sepenuhnya. 

Selain itu, ritual Siraman, bisa menjadi promosi awal bagi para sindir/waranggono pemula yang baru di-wisuda. Kehadiran mereka dalam kedua ritual tersebut bisa menjadi penegas eksistensi mereka selanjutnya dalam jagat tayub di kedua kabupaten maupun kabupaten-kabupaten tetangga yang membutuhkan gerak tari dan kelembutan suara mereka dalam pertunjukan. 

Apalagi, di dalam ritual, mereka juga bertemu dengan para pramugari dan penggila tayub, sehingga perkenalan awal itu bisa menjadi pintu masuk bagi mereka agar dikenal dan direkomendasikan untuk “ditanggap” dalam pertunjukan-pertunjukan tayub berikutnya. Berdasarkant data tahun 2019, para waranggono mendapatkan rezeki ekonomi sebesar Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 500.000 bagi pemula dalam setiap pertunjukan, dari siang selepas Dzuhur ampai sebelum Subuh. 

Pendapatan tersebut bisa berlipat-ganda, dari Rp. 2.500.000 sampai dengan Rp. 4.000.000 ketika mereka semakin sering diundang pentas dan semakin dikenal oleh publik penikmat tayuban. Seperti Wantika, waranggono Tuban, yang bertarif Rp. 4.000.000 dalam setiap pertunjukan tayub. 

Dengan penghasilan itulah mereka bisa membayar kredit sepeda motor atau, bahkan, mobil, membangun rumah, memenuhi kebutuhan keluarga, hingga membiayai sekolah anak-anak mereka. Sekali lagi, bagi para tandhak pemula, keterlibatan mereka dalam ritual Gembyangan ataupun Siraman menjadi penanda awal keberadaan mereka dalam dunia tayub yang penuh dinamika; menawarkan rezeki ekonomi sekaligus menuntut siasat-siasat tubuh di tengah-tengah sorotan dan keliaran mata para penayub.  

Sementara, bagi waranggono dan pramugari senior kehadiran mereka lebih untuk memberikan dorongan atau semangat kepada para waranggono pemula. Tentu saja, itu tujuan ideal yang diharapkan oleh rezim negara. Meskipun demikian, banyak diantara mereka berkeluh-kesah terkait mahalnya biaya untuk berpartisipasi dalam ritual. 

Beberapa waranggono senior Tuban mengatakan bahwa untuk berdandan dan kebutuhan-kebutuhan lain dalam siraman, paling sedikit mereka harus menyediakan dana Rp. 1.000.000. Mereka tidak bisa mengelak dari ritual tersebut karena diwajibkan oleh dinas terkait. 

Memang muncul sedikit keluhan, tetapi tidak sampai menjadikan mereka berani untuk tidak hadir dalam acara Siraman. Paling tidak dengan hadir di acara tersebut, para waranggono dan pramugari senior menunjukkan dukungan mereka terhadap upaya rezim negara untuk terus melegitimasi kesenian tayub sebagai bagian sah dari budaya lokal. Dengan demikian, mereka pun tetap bisa melanjutkan ikhtiar kultural sekaligus ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun