Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menengok Siraman Seniman Langen Tayub di Sendang Bektiharjo Tuban

7 April 2022   08:11 Diperbarui: 14 April 2022   10:30 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesenian kuda lumping. Dok. Pemkab Tuban

Pelestarian tayub, baik di Nganjuk, Tuban, maupun Lamongan, di satu sisi memang memunculkan permasalahan dilematis karena menguatnya kekuatan tokoh agama tertentu yang menganggap dan memosisikan kesenian ini penuh dengan kemaksiatan. Di sisi lain, tayub masih menjadi kesenian populis yang digemari banyak anggota masyarakat di masing-masing kabupaten. 

Para waranggono senior mengikuti ritual. Dokpri
Para waranggono senior mengikuti ritual. Dokpri

Pilihan untuk menggelar acara seremonial merupakan bentuk jalan tengah yang ditempuh rezim kabupaten guna memberikan legitimasi kepada kesenian tayub untuk tetap bisa berkembang sekaligus menertibkan para pelakunya sehingga bisa diarahkan agar tidak terlalu berlebihan dalam melangsungkan sikap dan perilaku maksiat dalam pertunjukan. 

Dengan strategi tersebut, rezim kabupaten tetap mendapaktan keuntungan, yakni mereka tetap bisa mendorong berkembangnya identitas daerah sekaligus mendapatkan simpati publik, khususnya masyarakat penggemar tayub, yang bisa meninggikan nilai tawar politis mereka di mata warga. Lebih jauh lagi, mereka juga akan mendapatkan apresiasi dari rezim negara di atasnya, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Kedua, sejalan dengan otonomi daerah, masing-masing pemerintah kabupaten dituntut untuk mengembangkan usaha yang bisa memperbesar pemasukan dana. Pariwisata budaya dengan menampilkan keunikan kultural yang dimiliki masyarakat setempat menjadi pilihan yang paling mudah dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait. 

Pemerintah sangat menyadari bahwa sebesar apapun pengaruh modernitas dalam kehidupan warga, mereka masih belum bisa meninggalkan sepenuhnya tradisi maupun kesenian yang diwariskan oleh nenek-moyang. Dengan kata lain, masyarakat lokal masih menyimpan memori dan kegemaran kolektif terhadap atraksi kultural yang mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan kewilayahan. 

Ketika kesenian lokal yang selama ini menjadi kegemaran komunal di-ritual-kan dalam program pariwisata, masyarakat pendukungnya pun akan menyambut dengan antusias. Kedatangan mereka tentu dalam agenda pariwisata budaya Siraman Seniman Langen Tayub, memang tidak bisa langsung mendongkrak pemasukan daerah, karena mereka tidak dipungut biaya. 

Namun, pembesaran oleh media dari acara-acara tersebut tentu diharapkan akan mendatangkan wisatawan lokal dari daerah lain dan wisatawan mancanegara. Kedatangan mereka tentu diharapkan akan menggerakkan roda perekonomian, seperti perdagangan sektor informal maupun perhotelan yang berpotensi memberikan tambahan pemasukan kepada pemerintah kabupaten.

Lalu, bagaimana dampak dari kegiatan yang diselenggarakan oleh rezim kabupaten terhadap para tandhak/waranggono maupun seniman tayub lainnya seperti pramugari dan pengrawit? Secara kultural, ritual-ritual yang melibatkan waranggono serta pembinaan mental dan teknik koreografi kepada para seniman langen tayub memang membawa perubahan, meskipun tidak secara menyeluruh, khususnya terkait stigmatisasi yang diberikan masyarakat. Setidaknya, stigmatisasi negatif mulai berkurang. 

Masuknya kesenian tayub dalam agenda pariwisata budaya di Tuban, pertama-tama, dibaca sebagai bentuk penghargaan pemerintah terhadap kesenian rakyat yang selama ini oleh kalangan agamawan diposisikan mengumbar maksiat. Dengan agenda ini dan juga kegiatan-kegiatan pembinaan, para waranggono, khususnya, mendapatkan legitimasi terkait aktivitas kesenian mereka, sehingga lambat-laun masyarakat bisa memberikan persepsi yang lebih positif, “bersusila”, “berbobot”, dan “sopan”. 

Pada masa lampau kebalikan dari ketiga istilah tersebut, yakni “asusila”, “tidak berbobot”, dan “tidak sopan”, menjadi stigma yang dominan, khususnya yang dilontarkan oleh kaum agamawan. Terlepas dari usaha rezim pemerintah untuk menginkorporasi kesenian tayub sebagai bagian proyek politik dan proyek pariwisata budaya, para seniman juga bisa menegosiasikan kepentingan mereka di tengah-tengah semakin gencarnya dakwah keagamaan di wilayah pedesaan sebagai basis perkembangan tayub. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun