Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menengok Siraman Seniman Langen Tayub di Sendang Bektiharjo Tuban

7 April 2022   08:11 Diperbarui: 14 April 2022   10:30 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon waranggono bergaun putih. Dokpri

PROSESI SIRAMAN

Selain busana, prosesi ritual yang dilangsungkan dalam praktik-yang-dikesankan-sakral juga memunculkan kesan eksotis tersendiri. Kesan sakral itu dikonstruksi melalui beberapa tahapan ritual. 

Pertama, kedatangan bupati/wakil bupati beserta jajaran pimpinan daerah disambut oleh para peserta ritual (waranggono dan pramugari) layaknya kedatangan raja. Seorang lelaki pembawa payung mengiringi si pimpinan. Sementara, di bagian belakang adalah barisan para calon waranggono yang akan diwisuda dan waranggono senior serta para pramugari. Penghadiran-kembali iring-iringan 'raja' menjadi makna visual yang dilekatkan dengan kesakralan. 

Prosesi iring-iringan pada Siraman 2013. Dokpri
Prosesi iring-iringan pada Siraman 2013. Dokpri
Secara semiotik, prosesi tersebut bisa dibaca sebagai bentuk penghormatan terhadap pimpinan daerah yang dianggap mampu memberikan kebajikan berupa kebijakan. Pimpinan daerah dianggap memiliki kepedulian terhadap usaha pemertahanan kesenian lokal yang oleh para pemuka agama diyakini sebagai praktik estetik yang mengandung unsur maksiat. Atas kebajikan tersebut, mereka perlu mendapatkan penghormatan layaknya seorang raja.

Penghadiran kesenian lain, seperti kuda lumping dan campursari, dimaksudkan untuk lebih meramaikan ritual yang diselenggarakan oleh negara. Orientasi menjadikan acara ini sebagai atraksi wisata menjadi alasan utama untuk menghadirkan kesenian-kesenian lokal lain. Hal itu bisa dipahami karena kalau hanya acara ritual siraman, maka agenda wisata tetap Pemkab Tuban ini akan terkesan kurang ramai. 

Kesenian kuda lumping. Dok. Pemkab Tuban
Kesenian kuda lumping. Dok. Pemkab Tuban

Paling tidak, sembari menunggu ritual siraman, penonton yang sebagian besar wisatawan lokal bisa menikmati atraksi-atraksi kesenian yang bersifat menghibur. Selain itu, tambahan pagelaran ini juga dimaksudkan untuk mempromosikan kekayaan budaya lokal yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat Tuban.

Tahapan ritual berikutnya adalah pemberian air untuk siraman yang diberikan oleh pimpinan daerah kepada perwakilan calon waranggono. Air untuk siraman ditaruh di dalam wadah gerabah, tidak lupa diberikan kembang aneka warna. Penghadiran kembang aneka warna memang berkaitan erat dengan ritual dalam tradisi Jawa yang dimaksudkan sebagai pelajaran bagi para pesinden bahwa mereka akan menghadapi bermacam keadaan dan tantangan dalam menjalani profesi tersebut. 

Waranggono menerima air dalam gerabah yang diberikan pimpinan daerah. Dok. Pemkab Tuban
Waranggono menerima air dalam gerabah yang diberikan pimpinan daerah. Dok. Pemkab Tuban
Diharapkan mereka selalu ingat dan berusaha mengembangkan kepribadian dan kemampuan yang menjadikan kesenian ini selalu dicintai oleh para pengibing dan masyarakat secara luas. Sementara, air dalam wadah gerabah dimaksudkan sebagai simbol dari penyucian para waranggono dari niat-niat jelek dalam berkesenian serta dalam keadaan apapun mereka diharapkan selalu ingat asal-usul manusia yang berasal dan akan kembali ke dalam tanah. 

Setelah itu, semua peserta beriringan menuju Sendang. Para calon waranggono mengenakan gaun yang terkesan glamor. Ini merupakan upaya untuk memperindah ritual dengan kesan modern. Bagaimanapun juga, ritual harus tampak mewah dan megah agar agar tampak indah untuk kepentingan publikasi dan promosi. 

Calon waranggono bergaun putih. Dokpri
Calon waranggono bergaun putih. Dokpri
Selain itu, gaun modern menandakan sikap terbuka para seniman terhadap modernitas yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Mereka harus mau mengadopsinya secara liat agar bisa survive di tengah-tengah perubahan selera budaya masyarakat. Warna putih bisa juga dibaca sebagai ketetapan hati (niat) para calon waranggono untuk mengembangkan budaya lokal dan tidak melakukan hal-hal negatif yang bisa memperkuat stigma negatif di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun