Meskipun tidak semua waranggono bisa mematuhi prasetya tersebut, kehadirannya tetap menjadi aparat kontrol yang selalu menghadirkan negara dalam gelaran tayub.
Pelaksanaan Gembyangan Waranggono, pada akhirnya, memang mampu menjadi atraksi wisata budaya yang menarik dan menghadirkan gebyar kultural di tengah-tengah masyarakat Ngrajek. Ritual bersih desa yang sebelumnya sangat jauh dari tujuan wisata menjadi perayaan yang diintegrasikan ke dalam program pemerintah kabupaten.Â
Tahapan demi tahapan acara tersebut menjadi paket ritualisasi yang diatur dan ditata sedemikian rupa oleh aparatur negara maupun pakar yang mereka sewa. Dari urutan ritual hingga kostum yang dikenakan, baik oleh pejabat yang hadir, calon waranggono, hingga para pinisepuh, diatur sedemikian rupa sehingga penonton dari luar desa dan luar kota akan mendapatkan 'keindahan visual ketradisionalan' yang dikenakan pada waktu acara.Â
Masyarakat, kemudian, tidak berhak lagi mengatur dan menata ritual tersebut, sehingga mereka sebagai pemilik dan pelaku kehilangan separuh kebebasan untuk memaknai ritual. Meskipun demikian, mereka juga tetap berharap bahwa ritual ini akan memberikan berkah dan keselamatan, baik bagi warga dusun maupun para waranggono.
Bagi peneliti yang kritis, kegiatan ritualisasi ini tampak menjadi rutinitas yang bersifat seremonial. Juwariyah (2002), misalnya, melihat Gembyangan Waranggono bergeser dari kegiatan ritual masyarakat ke bentuk profan yang dikemas pihak dinas pariwisata. Berbagai penyajian diterapkan untuk kepentingan industri pariwisata, proses komodifikasi pariwisata telah melahirkan mass tourism yang murah.Â
Selain itu, ritual dusun ini juga mengalami pendangkalan makna, karena sekedar menjadi acara tahunan biasa, sepertihalnya ulang tahun. Menurut kami, apa yang terjadi bukanlah pendangkalan makna, karena para sesepuh desa masihlah menganggap ritual bersih desa sebagai usaha komunal untuk mendapatkan berkah dan keselamatan dari Tuhan Yang Mahaesa.Â
Apa yang berlangsung adalah proses investasi dan valorisasi makna, di mana para birokrat kebudayaan terlibat dalam memberikan makna-makna baru terhadap ritual yang dimiliki oleh komunitas warga dengan harapan akan menaikkan pamor dan nilai-jualnya demi kepentingan mereka dalam hal wisata budaya. Dalam konsepsi tersebut, agen bukan hanya para pinisepuh dan anggota masyarakat, tetapi juga aparat negara yang berkepentingan terhadap keberhasilan ritual tersebut.
Investasi dan valorisasi makna bisa dilihat, misalnya, dari seragam dan piranti yang digunakan selama pelaksanaan Gembyangan Waranggono. Aparat negara menjadikan esensialisasi tradisi berorientasi arkaik sebagai daya tawar. Sebagai sekumpulan penanda, pakaian adat Jawa-Mataraman yang dikenakan pejabat dan pinisepuh memang mengusung ketradisionalan yang dinegosiasikan dalam ruang dan waktu temporer, paling tidak setahun sekali di Ngrajek.Â
Bahkan, iring-iringan yang dipimpin pejabat diformat menyerupai para punggawa mengiringi kepergian sang raja. Para calon waranggono pun didandani dengan pakaian kebaya, meskipun sebagian sudah bercita-rasa modern. Dari aspek seragam yang dikenakan saja, kita sudah bisa membaca betapa perayaan penanda ketradisionalan benar-benar disengaja untuk menghadirkan kecantikan dan keindahan visual sebagai salah satu syarat untuk memberikan suguhan atraktif.Â
Meskipun demikian, sebagai perayaan, penanda ketradisionalan tersebut hanya menjadi penanda yang kehilangan rujukannya terhadap pola hidup dan budaya tradisional itu sendiri karena dalam kehidupan sehari-hari budaya modern-lah yang menjadi orientasi dominan. Â
Investasi makna arkaisme juga tampak dari ritual penyematan cunduk kembang khantil ke konde yang dikenakan para calon waranggono. Tentu ada makna simbolis berupa pemberkatan kepada para calon waranggono agar para penonton yang kelak menonton gerak tari dan kemampuan nembang mereka bisa tertarik dan menyukai. Begitupula ketika para calon waranggono meminum air sumber dengan wadah daun pisang.Â