Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gembyangan Waranggono, Pelestarian Tayub Nganjuk dalam Kerangka Wisata Budaya

5 April 2022   04:34 Diperbarui: 6 April 2022   20:49 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinisepuh menyiapkan ritual. Dok. www.infobudaya.com

Kebudayaan daerah, seperti tayub, diposisikan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan, dalam artian terus dihidupkan dan diadakan keberadaannya di bumi Indonesia karena diyakini memiliki nilai-nilai luhur yang menjadi identitas komunal sebuah masyarakat. Dalam makna "melestarikan" kita juga bisa menangkap kesan bahwa budaya merupakan sesuatu yang esensial, tidak bisa berubah.Padahal, kenyataan membuktikan, dari zaman Mataram Hindu hingga sekarang, tayub sudah berubah. 

Pertanyaannya, mengapa kata "melestarikan" masih dipilih, bahkan ditambahi dengan kata "memperkokoh"? Menurut saya, penggunaan kedua kata tersebut, pertama-tama, bisa dibaca sebagai usaha untuk menegaskan bahwa rezim negara, dari tingkat pusat sampai daerah, masih memiliki kepedulian yang cukup serius untuk menyuarakan dan memperkuat kebudayaan daerah di tengah-tengah gencarnya pembangunan yang mengarah kepada budaya modern. 

Setidaknya, di mata komunitas kesenian ataupun ritual, rezim negara akan tetap dianggap peduli kepada identitas daerah, sehingga dukungan secara politis akan tetap bisa dipertahankan. Artinya, untuk mendukung kekuasaan politiknya, rezim negara di tingkat kabupaten masih mereproduksi pola serupa dari yang dilaksanakan oleh rezim Orde Baru; mengartikulasikan suara-suara kultural dari kelas-kelas atau komunitas-komunitas berbeda dalam masyarakat sehingga akan terbentuk konsensus politik.

Kedua, sebagai pengaruh diskursif dari gerakan Reformasi 1998 di mana di banyak wilayah Indonesia muncul gerakan untuk membangkitkan-kembali budaya lokal atau yang seringkali dianggap budaya tradisional yang pada masa sebelumnya ditertibkan oleh rezim negara karena ketakutan akan bangkitnya feodalisme yang bisa menghambat pembangunan. 

Kebangkitan ini ditandai dengan mobilisasi, pemunculan-kembali, dan perayaan praktik-praktik kultural yang dianggap menjadi identitas sebuah komunitas, masyarakat, maupun daerah. Dalam banyak kasus, kebangkitan ini dimanfaatkan oleh elit-elit lokal untuk tujuan dan kepentingan ekonomi-politik mereka. 

Rezim negara sebagai penguasa juga tidak ingin ketinggalan dalam memainkan isu kebangkitan budaya lokal ini untuk memenuhi kepentingan ekonomi-politik mereka. Rezim akan mendapatkan citra positif dari keterlibatan mereka dalam proyek budaya di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Untuk menunjukkan perhatian terhadap persoalan moralitas kultural, ungkapan "memberikan wawasan budaya kepada masyarakat" dimunculkan.  

Rezim negara mengambil peran sebagai 'guru' atau 'empu' yang bisa mentransfer pengetahuan budaya kepada 'para muridnya', yakni masyarakat. Posisi pendidik ini menempatkan mereka, sekali lagi, sebagai otoritas dominan yang berhak mengajari, mengarahkan, dan mengendalikan orientasi dan praktik berbudaya masyarakat. 

Artinya, dalam suasana pascareformasi, rezim negara masih mencoba untuk tidak membiarkan perayaan budaya lokal menjadi kekuasaan masyarakat sepenuhnya, tetapi tetap dalam kendali mereka demi terjaganya "kelestarian budaya" sebagaimana yang mereka kehendaki. 

Ketiga, berkaitan dengan hasrat ekonomi, rezim negara pada era 2000-an, sebagai kelanjutan dari program-program yang sudah dicanangkan pada masa Orde Baru, menggalakkan wisata budaya, di mana mereka berusaha mengkreasi-ulang ritual ataupun kesenian dalam masyarakat dengan cita-rasa yang lebih meriah, glamor, dan menarik secara visual. 

Maka, tidak mengherankan kalau ungkapan "mengenalkan" atau "mempromosikan" budaya daerah sering diucapkan oleh para birokrat kebudayaan. Kedua ungkapan tersebut merupakan wacana pendukung dari pewacanaan wisata budaya yang digalakkan rezim negara dari pusat sampai daerah pada era 2000-an. 

Alasan mendatangkan wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, pada dasarnya, berhubungan dengan bergeraknya roda ekonomi yang secara langsung akan mendatangkan keuntungan finansial bagi aparatus negara di kabupaten. Dengan demikian, di balik mobilisasi diskursif ungkapan "melestarikan", "memperkokoh", "memberikan wawasan", dan "mengenalkan" budaya daerah, sebenarnya terdapat kepentingan ekonomi-politik untuk memperkuat kekuasaan sekaligus mendapatkan keuntungan finansial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun