Terlepas dari benar atau tidaknya sejarah lisan yang disampaikan para pinisepuh Dusun Ngrajek, acara Gembyangan ini semakin lama semakin terkenal. Banyak warga dari desa-desa tetangga hadir untuk menonton. Dari usaha kreatif yang dilakukan oleh warga Ngrajek kita bisa melihat bagaimana tayub dilekatkan dengan aspek historis dusun, kekuatan adikodrati dalam tradisi agraris, kreativitas kultural, kekuatan perempuan, dan kearifan ekologis.Â
Kemenyatuan aspek-aspek tersebut dalam pemahaman tentang pentingnya tayub dalam ritual dusun menunjukkan bahwa manusia-manusia bertradisi lisan sebenarnya menempatkan tayub dalam posisi terhormat yang bukan hanya membawa misi hiburan. Lebih dari itu, tayub merupakan karya kultural yang membawa misi identitas agraris dan kampanye ekologis. Makna-makna itulah yang semestinya juga terus ditransformasikan dalam acara Gembyangan Waranggono.
Dikarenakan pemerintah memiliki misi untuk menertibkan budaya tayub di masyarakat yang seringkali mendapatkan stigma negatif, sejak era 1980-an, pemerintah Kabupaten Nganjuk mulai melakukan intervensi ke dalam pelaksanaan Gembyangan Waranggono. Aktivitas-aktivitas formal pun dilakukan oleh pemerintah, seperti pendirian Padepokan Langen Tayub di Dusun Ngrajek. Padepokan ini menyatu kompleks punden Mbah Ageng.Â
Di padepokan inilah para calon waranggono mendapatkan gemblengan (pelatihan) kemapuan tari dan gendhing (lagu) sesuai dengan kurikulum yang dibuat dinas terkait. Pelaksanaan pelatihan dalam koordinasi pemerintah memang sesuai dengan proyek sosiodrama yang dibuat oleh pemerintah pusat pada era 1980-an di bawah naungan Departemen Dalam Negeri.Â
Semua desa di Indonesia yang memiliki seni pertunjukan akan mendapatkan pembinaan dari dinas terkait. Proyek ini juga berimplikasi pada munculnya program untuk menemukan dan menentukan identitas suatu daerah. Tayub menjadi pilihan paling masuk akal untuk dijadikan sebagai identitas Nganjuk karena ketenaran kesenian ini di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pandangan Utomo dan Suparwoto (2016: 12), meskipun secara formal pelatihan diikuti banyak calon waranggono, kegiatan ini kurang memberikan dampak positif bagi pengembangan dan pemberdayaan kesenian tayub. Menurut mereka pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten masih belum bisa memformulasi kebijakan pembinaan kesenian yang mampu menciptakan ruang kebebasan kreatif bagi para seniman.Â
Rekayasa kesenian pada dasarnya tidak dapat dipaksakan, tetapi masih dapat dimengerti jika pemerintah melakukan rekayasa melalui pembinaan. Campur tangan pemerintah pada kesenian tayub di Nganjuk tidak memberikan dampak positif semata, selalu ada sisi negatif dalam setiap kebijakan. Para seniman tidak dapat mengembangkan diri sesuai dengan jiwa seninya, karena harus mengikuti petunjuk serta peraturan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun demikian, acara ini tetap diikuti oleh para calon waranggono hingga era pascareformasi. Bahkan, Gembyangan dijadikan agenda resmi pariwisata budaya Nganjuk. Biasanya, bupati, dinas terkait, perangkat desa, dan pinisepuh desa, selain, tentu saja, pulunan calon waranggono.Â
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nganjuk selalu mengatakan bahwa acara ini bertujuan untuk melestarikan budaya dalam rangka memperkokoh kebudayaan daerah, memberikan wawasan kebudayaan kepada masyarakat, menarik minat masyarakat untuk lebih mengenal tentang seni budaya Nganjuk dan lain sebagainya. Menarik kiranya untuk membaca lebih jauh lagi beberapa tujuan pelaksanaan Gembyangan Waranggono.
Konsep "melestarikan budaya dalam rangka memperkokoh kebudayaan daerah" merupakan wacana yang mereproduksi dari model tujuan kebijakan kebudayaan yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Konsep tersebut seperti masih menjadi "mantra sakti" yang tetap dinyatakan oleh banyak birokrat kebudayaan, bukan hanya di Nganjuk, tetapi juga di kabupaten-kabupaten lain, termasuk di tingkat provinsi dan pusat.Â