Kontestasi pemaknaan dari beberapa pembacaan di atas, paling tidak, menunjukkan bahwa budaya pop merupakan realitas kultural yang tidak hanya menarik untuk dituduh atau dicaci-maki. Lebih dari itu, teks dan praktik budaya pop merupakan kompleksitas kultural yang bisa dimaknai dan dikaji sesuai dengan cara pandang kita.
Kehadirannya yang tidak mungkin untuk ditolak, mengharuskan para akademisi harus secara jeli dan kritis untuk terus membaca, mengamati, menganalisis, dan mengkritisi dinamika dan transformasi kultural dalam masyarakat kontemporer. Masyarakat saat ini—dari kota hingga pelosok dusun—sudah tidak mungkin lagi bisa keluar dari jejaring budaya pop.
Namun demikian, mereka juga masih mampu memaknai kehadiran teks dan praktik pop dengan cara strategis sehingga tidak menjadikan mereka larut sepenuhnya.
Keinginan untuk tetap meyakini dan menjalankan sebagian budaya lokal dan hasrat untuk terus menikmati kemudahan, kecepatan, dan kesegeraan yang ditawarkan budaya pop melalui globalisasi menyebabkan berlangsungnya “transformasi kultural” dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Aschroft (2001: 1) menjelaskan bahwa dalam masyarakat pascakolonial mampu melakukan tranformasi terkait masuknya pengaruh budaya global ke dalam kehidupan dan budaya mereka.
Transformasi memungkinkan masyarakat memiliki kendali terhadap masa depan. Transformasilah yang mendeskripsikan cara-cara yang di dalamnya masyarakat pascakolonial mengambil wacana-wacana dominan, mentransformasi dan menggunakan mereka sebagai sarana pemberdayaan diri mereka sendiri.
Transformasi pascakolonial mendeskripsikan cara-cara yang di dalamnya masyarakat yang terdominasi mentransformasi asal-muasal kekuatan kultural yang mendominasi mereka.
Memang, kondisi tersebut secara jelas berlangsung di dalam seni sastra dan seni representasional lainnya, tetapi ia muncul juga sebagai bentuk strategis semua praktik kultural.
Kebiasaan meniru dan mengadaptasi nilai dan praktik modern untuk kemudian memasukkannya ke dalam formasi lokal memunculkan “hibriditas budaya” (Bhabha, 1994) sebagai ciri utama transformasi kultural. Kemampuan mentransformasi subjektivitas kultural di tengah-tengah pengaruh budaya pop akan memunculkan dua skenario.
Pertama, memperkuat eksistensi sebagian budaya lokal yang masih diyakini sebagai kekuatan dan pemersatu masyarakat, baik pada level lokal maupun nasional, di tengah-tengah semakin menguatnya tradisi modern, oksidentalisme, dan transaksi pasar.