Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi (Bangsa) Ngepop: Budaya Pop dan Transformasi Masyarakat

4 April 2022   06:00 Diperbarui: 5 April 2022   09:00 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, dengan semakin massifnya produk-produk industri yang menyebar di pasar, masyarakat semakin terbiasa dengan budaya pop, dari membaca roman picisan, majalah, menonton teve, menonton olah raga, mendengarkan musik, menonton film, hingga menikmati media sosial. 

Tanpa harus dikomando, sebuah masyarakat semakin terbiasa dengan teks, bentuk, peristiwa, dan ideologi yang direpresentasikan sesuai dengan selera umum dan, lebih dari itu, mampu menghubungkan mereka, meskipun secara imajiner, dengan masyarakat lain yang memiliki kecenderungan selera dan permasalahan serupa. 

Warga Dusun Kliwonan 1, Grabag, Kab. Magelang, menonton bersama laga final leg 1 Piala AFF 2020 Indonesia vs Thailand, Rabu (29/12/2021) malam WIB. (KOMPAS.com/Mochamad Sadheli) 
Warga Dusun Kliwonan 1, Grabag, Kab. Magelang, menonton bersama laga final leg 1 Piala AFF 2020 Indonesia vs Thailand, Rabu (29/12/2021) malam WIB. (KOMPAS.com/Mochamad Sadheli) 

Hermes (2005: 1) memaparkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, teks budaya pop (musik pop dan banyak konten media sosial, misalnya) jauh lebih nyata dibandingkan dengan politik nasional. 

Dalam kehidupan sehari-hari, keterikatan dan perasaan memiliki seringkali berhubungan dengan lebih mudah dan langsung dengan budaya pop (global) dibandingkan isu-isu kepemerintahan nasional maupun lokal. 

Berdasarkan rujukan sehari-hari, kita mendiskusikan hal-hal baru yang menarik dengan teman. Ketika timnas sepak bola mencetak gol, kita bersorak-girang bersama orang-orang lain yang tidak pernah kita kenal. 

Kita melakukan semuanya dengan pemahaman bahwa banyak orang berbagi makna kesukacitaan, kemarahan, kebahagiaan, dan perhatian. Mereka juga akrab dengan argumen-argumen yang ingin kita gunakan dan contoh-contoh yang kita rujuk. 

Budaya pop menawarkan kepada kita komunitas terbayang atau, mungkin lebih tepat, bayangan-bayangan bersama. Teks budaya pop membantu kita untuk mengetahui siapa diri kita, serta melibatkan kita dalam komunitas penikmat. Ini tentu mengganggu pemahaman sebelumnya bahwa negara dan bangsa dianggap paling mampu mengorganisir rasa memiliki, hak kita, dan kewajiban kita. 

Selama beberapa dekade terakhir, anggapan tersebut menghadapi kompetitor serius dari konglomerat media internasional dengan bermacam produk berita dan hiburannya, berbagai platform media sosial dan internet dengan bermacam konten. Semua itu memasukkan kita ke dalam tipe-tipe baru kolektivitas yang meluas, jauh melampaui batasan nasional. 

Tradisi-tradisi pop memunculkan solidaritas, empati, dan kesamaan harapan/permasalahan, antarmasyarakat yang berbeda jarak dan waktu, meskipun mereka tidak saling-mengenal sebelumnya. 

Dalam sejarah munculnya kemerdekaan dan nasionalisme, teks budaya pop, seperti novel dan surat kabar, telah melahirkan komunitas-komunitas terbayang yang memunculkan solidaritas antarmasyarakat terjajah di wilayah lain dan akhirnya menciptakan perasaan senasib. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun