Bagi saya, kemampuan kita untuk memaknai dan mengkaji secara mendalam persoalan-persoalan yang muncul akan menjadikan kita bisa bersiasat dan tidak gagap dalam menyikapi budaya pop, tidak sekedar menjustifikasinya sebagai perusak budaya lokal ataupun moral bangsa.
BUDAYA POP DALAM KONTESTASI PEMAKNAAN
Dalam ranah akademis, pemaknaan terhadap budaya pop bukan saja menghadirkan perdebatan, tetapi juga kritik tajam. Bagi para pemikir mazhab Frankfurt, budaya pop seringkali disejajarkan maknanya dengan “budaya massa” (produk-produk kultural yang diciptakan oleh industri seperti acara televisi, musik, acara radio, film, fashion, dan lain-lain) yang hanya melakukan “penipuan massa”.
Budaya pop menjanjikan individualisme, kebebasan, dan rasionalitas, sementara, realitasnya, hanya menyuguhkan bentuk dan konstruksi wacana kultural yang sudah diatur dalam prinsip komodifikasi, standardisasi, dan massifikasi, serta menjadikan masyarakat konsumen sejati dari produk-produk industrial yang hanya memberikan keuntungan buat pemodal dan tidak “mencerahkan” konsumen (Adorno & Hokheirmer, 1993; Adorno, 1997, 1993).
Cara pandang tersebut dikonstruksi berdasarkan tesis base/super structure Marxian yang berargumen bahwa aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi produk-produk industrial hanya menjadikan masyarakat yang tunduk dan patuh dalam jejaring kuasa kapitalisme, sehingga mereka akan mengalami perubahan orientasi ideologis dan kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003), termasuk mulai meninggalkan keutuhan budaya lokal dan larut dalam budaya pasar.
Dalam ranah moralitas, sebagaimana dicatat Ganz (1974), budaya pop dituduh: (1) membahayakan eksistensi budaya adiluhung karena meminjam dan mengkorupsi struktur dan isi serta mengubahnyanya ke dalam bentuk yang sepele sehingga menghilangkan esensinya; (2) menimbulkan efek negatif kepada para penikmatnya karena banyak mengumbar seks dan kekerasan; dan, (3) bersifat destruktif karena menawarkan isi dan tampilan yang eskapis sehingga menjauhkan penikmatnya dari realitas kehidupan.
Konsepsi-konsepsi teoretis yang mengkritisi budaya pop sebagai bentuk penipuan, menyebarkan kapitalisme, dan merusak/menghancurkan keadiluhungan budaya masyarakat, memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Kepentingan pemodal adalah kekuatan yang menggerakkan dan memperluas persebaran budaya pop di tengah-tengah masyarakat, baik melalui massifikasi maupun percepatan “produksi-konsumsi” maupun “wacana-wacana ideologis” yang dihadirkan dalam narasi-narasinya.
Diakui atau tidak, saat ini masyarakat global, tentu saja, termasuk di Indonesia, tidak mungkin lagi keluar dari jejaring/kepungan budaya pop dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi itu bukan hanya terjadi di wilayah-wilayah metropolitan. Di wilayah-wilayah lokal yang masyarakatkanya (dianggap) masih meyakini dan menjalankan budaya lokal, kehadiran bentuk dan praktik kultural yang nge-pop sudah biasa, dari mengenakan pakaian modis, menonton film, menikmati lagu-lagu pop, hingga ber-internet ria.
Artinya, budaya pop merupakan “proses dinamis” yang memunculkan kompleksitas permasalahan, baik yang berlangsung dalam “ranah representasi dalam narasi/bentuk” maupun “praktik”.