Gambar Sponge Bob dan Patrick di atas bukanlah lukisan dinding sekolah PAUD yang berada di kota, tetapi lukisan dinding sekolah PAUD di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo.
Foto tersebut saya ambil pada sekira tahun 2011 ketika sedang penelitian di sana. Desa Ngadisari merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh komunitas Tengger, sebuah komunitas Jawa pegunungan yang masih taat menjalankan keyakinan religi dan ritual, sebagaimana mereka warisi dari para leluhur.
Gambar tersebut, setidaknya, memberikan informasi betapa budaya pop sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan di komunitas yang terkenal masih taat menjalankan adat-istiadat warisan leluhur.
Untuk menjadikan para siswa PAUD betah di sekolah, para guru tidak melukis kisah “Rara Anteng-Jaka Seger” yang diyakini sebagai nenek moyang komunitas Tengger, tetapi gambar Sponge Bob yang sudah sangat familiar bagi anak-anak. Namun, kehadiran budaya pop tidak serta-merta menghilangkan keyakinan para remaja Tengger terhadap adat-istiadat warisan leluhur.
Lalu, apakah masih perlu kita merisaukan atau menganggap “budaya pop” sebagai nilai dan praktik kultural yang membahayakan anak-anak dan generasi muda? Apakah kita masih harus beranggapan bahwa budaya pop telah memarjinalkan atau, bahkan, membunuh kekayaan budaya lokal Indonesia?
Bukankah kita dalam kehidupan sehari-hari sudah terbiasa menikmati budaya pop, dari menonton televisi, film, musik, hingga bermain internet? Perlukah kita memformulasikan cara pandang baru terhadap budaya pop?
Keempat pertanyaan tersebut akan menjadi ‘rambu-rambu’ bagi saya untuk ikut membincang persoalan budaya pop dalam kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer. Masyarakat Indonesia, sejak masa kolonial hingga saat ini, sudah terbiasa menikmati budaya pop, baik dalam hal nilai, bentuk, maupun praktik.
Ketakutan akan tergusurnya atau hilangnya kekayaan lokal masyarakat memunculkan perdebatan di antara intelektual dan budayawan terkait pengaruh negatif budaya pop.
Perdebatan-perdebatan tersebut seringkali melupakan genealogi pemaknaan, sehingga menegasikan kekayaan persoalan yang bisa dikaji lebih mendalam dari eksistensi budaya pop di tengah-tengah masyarakat.