Dalam pemahaman umum, pasar "krempyeng" adalah pasar yang digelar pada waktu atau even tertentu. Biasanya digelar di pinggir jalan, lapangan, atau tempat-tempat wisata dengan sajian utama aneka makanan dan minuman tradisional serta barang-barang kebutuhan masyarakat lainnya.
Pasar krempyeng bisa dimaknai sebagai "cepat buyar/selesai", karena memang hanya berlangsung dalam durasi waktu tertentu. Biasanya dalam hitungan jam dan tidak setiap saat ada. Namun, di banyak tempat, pasar krempyeng berlangsung harian. Artinya, setiap hari ada karena memang masyarakat membutuhkannya.Â
Di Jember, banyak pasar krempyeng yang buka setiap hari untuk memenuhi kebutuhan warga. Salah satunya di Dusun Babatan, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Jember. Pasar krempreng Babatan mulai ramai dari jam 5.00 WIB dan biasanya berakhir pada jam 10.00 - 11.00 WIB, ketika panas matahari semakin terasa.
Aneka kebutuhan rumah tangga, dari sayur-mayur, buah, kelapa, jagung muda, bermacam ikan laut dan air tawar, ayam, bawang merah, bawang putih, lombok, peralatan dapur hingga pakaian dengan harga murah tersedia.
Saya selalu menikmati orkestra pagi yang dihadirkan pasar krempyeng Babatan, setiap menemani istri belanja di hari Minggu. Ketika tidak ada keperluan, setiap akhir pekan saya dan keluarga memang pulang ke rumah mertua di Semboro. Ada banyak hal dan peristiwa yang dimainkan oleh masing-masing pedagang dan pembeli.Â
Konduktor dari semua itu adalah kepentingan untuk melanjutkan kehidupan. Para pedagang tentu mencari keuntungan untuk menghidupi keluarga mereka. Sementara, para pembeli membeli bahan untuk menyiapkan makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Apa yang selalu saya nikmati setiap kali ke pasar krempyeng adalah makanan tradisional berbahan singkong dan beras. Beberapa tahun yang lalu, penjualnya adalah seorang perempuan berusia senja. Saat ini, ia digantikan cucunya, seorang perempuan muda.Â
Aneka macam makanan berbahan singkong disajikan di lapaknya, dari "tiwul", "gethuk", "gatot", dan yang lain. Makanan berbahan singkong bisa dikatakan merupakan warisan nenek moyang yang bertahan hingga saat ini. Meskipun anak-anak lebih memilih makanan ringan buatan pabrik, tiwul, gethuk, dan gatot masih memiliki penggemar setia. Terbukti, setiap hari selalu habis.
Selain warga biasa, pembelinya adalah para "mlijo" (pedagang kebutuhan dapur keliling). Khusus para mlijo, biasanya mereka memesan terlebih dahulu. Adapun makanan tradisional berbahan beras yang dijual adalah "lupis" yang dibungkus daun pisang dan diberikan "juruh" (semacam cairan pemanis dari gula merah). Â
Melihat regenerasi penjual makanan tradisional di pasar krempyeng, saya optimis bahwa masih ada harapan bagi kuliner tradisional yang sekaligus menjadi penanda budaya lokal sebuah masyarakat. Setidaknya, di tengah booming makanan instan, makanan berbahan singkong dan beras masih bertahan. Tinggal bagaimana mengolah dan mengemasnya menjadi makanan yang bisa menjadikan anak-anak dan kaum remaja tertarik untuk menikmatinya.
Selain makanan tradisional, yang sangat khas dari pasar krempyeng Semboro adalah sayur-mayur dan ikan yang selalu segar. Sebagai kawasan subur, Semboro dan sekitarnya menghasilkan sayur-mayur yang murah penuh gizi. Daun kenikir, daun singkong, batang talas, kelor, bayam, sawi, kangkung, junggul, dan yang lain. Bagi yang suka mengkonsumsi olahan berbahan sayur, pasar krempyeng menjadi salah satu tempat idola karena ragam sayur segarnya.Â
Ikan laut di pasar ini didatangkan tempat pelelangan ikan Puger, di selatan Jember. Para nelayan mendedikasikan perjuangan mereka untuk memberikan bermacam ikan segar kepada warga Jember, termasuk warga Semboro. Para pedagang langsung membeli ikan dari para nelayan, sehingga mereka berani memberikan harga yang cukup bersaing.Â
Ikan tongkol, tuna, udang, kakap, putihan, dan yang lain bisa dibeli dengan harga yang tidak terlalu mahal. Buat warga yang menyukai ikan olahan seperti ikan pindang, ikan asin, teri kering, dan klothok, mereka juga dengan mudah memperolehnya.
Adapun kalau beruntung, kita bisa membeli ikan "kutok" (gabus), tawes, dan wader. Biasanya para pedagang mendapatkan dari warga yang mencari dari sungai, selokan, dan rawa.Â
Bagi mereka yang membutuhkan bawang merah, bawang putih, dan rempah-rempah, serta daging dan jerohan ayam, beberapa pedagang lelaki menyediakan dalam jumlah banyak. Tanpa rasa canggung lelaki penjual bawang "ngladeni" (melayani) para pembeli perempuan yang seringkali didahului proses "nyang-nyangan" atau "ngenyang" (tawar-menawar). Penjual daging ayam juga dengan tangkas memotong daging sesuai keinginan pembeli. Â
Di pasar krempyeng tak perlu malu dan canggung untuk melakukan transaksi ekonomi dalam level kecil. Kesetaraan gender berlangsung dalam aktivitas ekonomi bernuansa desa. Mereka bisa jadi tidak memahami apa itu kesetaraan gender ataupun feminisme, tetapi pertemuan di pasar dengan suasana keakraban telah melahirkan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berperan penting dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Mungkin, bagi orang-orang yang terbiasa membeli bahan pangan di supermarket ataupun hypermart, pasar krempyeng bisa jadi dipandang kurang higienis. Namun, bagi saya, tidak perlu terlalu khawatir. Toh, para pedagang menggunakan gelaran seperti tikar plastik untuk membuka "dasaran" (berjualan barang kebutuhan). Para penjual ikan menempatkan ikan mereka di dalam bak atau tempat khusus. Demikian juga dengan penjual sayur-mayur dan buah. Apa yang perlu diperhatikan adalah kebersihan selama proses pengolahan makanan.
KETAHANAN EKONOMI
Pandemi yang menyerang Indonesia sejak tahun 2020 memberikan dampak yang cukup signifikan kepada para pedagang dan warga yang biasa pergi ke pasar krempyeng. Batasan waktu berjualan dan ketatnya peraturan menjadikan sebagian warga menunda keinginan mereka untuk pergi ke pasar krempyeng. Tentu hal itu berdampak terhadap kuantitas transaksi.Â
Untungnya, pemerintah memberikan kelonggaran bagi aktivitas di pasar dengan tetap mematuhi protokol. Pasar krempyeng pun menggeliat kembali, menghadirkan orkestra pagi yang memberikan rezeki ekonomi bagi para pedagang serta memberikan kemudahan kepada warga yang membutuhkan bahan pangan dan kebutuhan dapur lainnya.
Tanpa rumus ekonomi makro maupun mikro sebagaimana dipelajari di fakultas ekonomi dan bisnis, Â warga dan pedagang berinteraksi dalam transaksi yang menjadi fondasi bagi bergeraknya roda perekonomian di tingkat bawah. Para petani sayur menjual kepada para pedangang. Para pedagang menjualnya kepada warga yang membutuhkan. Warga bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan harga relatif terjangkau. Tentu, mereka sama-sama mendapatkan keuntungan.
Pergerakan ekonomi kecil berbasis pertanian, kelautan, dan perkebunan terbukti mampu bertahan di tengah hantaman krisis ekonomi 1998, demikian pula di tengah-tengah pandemi Covid-19. Pasar krempyeng menjadi bukti kecil betapa orkestra pagi yang menggerakkan ekonomi bisa menopang keberlanjutan hidup manusia Indonesia, meskipun pertumbuhan ekonomi secara regional, nasional, dan internasional mengalami penurunan tajam.Â
Realitas itu pula yang mesti diperhatikan ketika polisi pamong praja ataupun aparat kepolisian ingin menertibkan aktivitas di pasar krempyeng atau pasar-pasar tradisional lainnya. Menertibkan dalam rangka mengelola aktivitas pasar agar tidak kumuh dan lebih bersih tentu sangat baik.Â
Namun, menertibkan untuk menggusur aktivitas ekonomi pedagang tanpa memberikan solusi konkrit, hanya menambah masalah ekonomi dan sosial di tengah-tengah masyarakat. Bagaimanapun juga, pasar krempyeng merupakan praktik ekonomi dan kultural yang menjadi nadi kehidupan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI