Sebagai aparatus sipil negara (ASN) dengan gaji dan honor sesuai aturan perundang-undangan, bisa memiliki dua kavling rumah (yang dijadikan satu) dengan bantuan kredit bank BUMN merupakan kebahagiaan tersendiri buat saya, istri, dan kedua anak kami.Â
Meskipun belum bisa memenuhi cita-cita untuk memiliki rumah besar dengan halaman luas, setidaknya rumah tersebut masih memiliki pekarangan sempit.Â
Saya sengaja tidak menutup halaman rumah dengan semen atau paving stone, karena ingin memanfaatkannya sebagai pekarangan tempat menanam tanaman pangan. Kegiatan menanam merupakan kebiasaan sejak kecil sebagai anak petani.Â
Sewaktu duduk di bangku SD dan SMP, saya suka menanam tanaman seperti cabe, kacang panjang, tomat, dan yang lain di pekarangan sempit rumah di Lamongan.Â
Di rumah Jember, di pekarangan berukuran tidak lebih dari 6 x 3 m, saya menjalankan aktivitas di pagi hari sebelum berangkat bekerja dan sore hari sepulang dari kampus.Â
Menanam bibit, memotong daun dan dahan, dan menyiram tanaman merupakan aktivitas pagi hari yang selalu menyenangkan karena bisa merasakan energi semesta yang masih cukup segar.Â
Sementara, di sore hari, saya lebih banyak memngamati dan menyiram tanaman serta menggemburkan tanah.Â
Bagi saya, rasa lelah setelah bekerja seharian di kampus, perlahan-lahan luruh ketika mengetahui tanaman di pekarangan tumbuh dengan baik. Â
DARI SUWEG, LABU HINGGA TELANG
Ketika mulai menanam, aktivitas pertama adalah menggemburkan tanah dengan mencampur kompos berbahan daun kering yang saya beli dari unit pengelolaan di Kampus UNEJ.Â
Selain itu, sampah organik dari dapur bisa dibuang atau dipendam di tanah karena sangat bermanfaat untuk menyuburkan tanah yang berdampak positif bagi pertumbuhan tanaman.
Di pekarangan yang cukup terkena sinar matahari, pilihan tanaman yang cocok adalah tanaman yang akan bermanfaat untuk kebutuhan pangan keluarga. Atau, setidaknya bisa membantu keperluan dapur.Â
Tanaman pangan seperti aneka talas, suweg (sejenis porang, tetapi langsung bisa dimasak), singkong, okra, jahe, kunci, pandan wangi, kelor, cabe, dan kunir menjadi pilihan karena mudah tumbuh.Â
Perawatan mereka juga relatif tidak susah, cukup disiram air sesuai kebutuhan dan diberikan pupuk kompos dari sampah organik dapur.Â
Apa yang cukup membahagiakan adalah ketika melihat tunas, daun, dahan, dan batang tumbuh dalam lanskap pekarangan.Â
Bibit suweg yang berupa umbi kecil tumbuh menjadi batang yang cepat meninggi karena kondisi tanah yang sering disiram. Talas pun tumbuh dengan baik. Begitupula dengan jahe, kunir, dan kunci.Â
Semua itu mengindikasikan bahwa usaha untuk menyuburkan tanah dengan kompos dan bermacam sampah organik dari dapur membuahkan hasil. Tidak perlu pupuk kimia atau pupuk organik buatan pabrik. Dengan biaya sangat murah, tanah pekarangan bisa menumbuhkan aneka tanaman.
Selain tanaman tersebut, saya juga mencoba untuk menanam labu (waluh dalam bahasa Jawa) yang mudah tumbuh, meskipun tidak mudah berbuah.Â
Menanam labu membutuhkan kesabaran karena mudah sekali berbunga, tetapi sebagian besar bunga jantan yang tidak bisa menjadi bakal buah.
Pada awal tahun ini, bunga betina berkenan hadir. Bunga betina itu menjadi bakal buah yang dengan cepat membesar menjadi buah. Menyaksikan buah labu membesar dengan cepat dalam hitungan minggu, kebahagiaan dalam batin semakin melimpah.Â
Sebagai upaya untuk memperbanyak kadar oksigen di pekarangan serta menyediakan tanaman untuk kesehatan, tiga batang tanaman telang saya bawa dari pinggir hutan jati di Lamongan, ketika berlibur ke rumah orang tua. Tiga batang telang tersebut dengan cepat tumbuh merambat dan menutup pagar rumah.Â
Bunga telang diyakini memiliki kandungan yang baik untuk mengendalikan kolesteror dan asam urat, bermanfaat untuk jantung, anti-inflamasi, bagus untuk otak, melelapkan tidur, dan banyak lagi yang lain. Maka, ketika bunga telang bermekaran, saya tinggal mengambil beberapa bunga untuk dimasukkan ke dalam air panas.
Selain itu, memanen bunga telang untuk kemudian dikeringkan menjadi pilihan alternatif. Bunga telang kering juga bisa dijadikan teh yang menyegarkan.Â
Dengan kata lain, tanaman telang menjadi persediaan herbal yang bisa digunakan setiap saat, selain untuk menutupi pagar sekaligus menjadikan teras rumah tidak kelihatan dari jalan.Â
Beberapa warga juga ikut memanen untuk keperluan konsumsi dan pengobatan. Ada pula yang meminta untuk dibuat campuran aneka makanan seperti puding dan nasi.
ORKESTRA DI PEKARANGAN
Hijauanya dedaunan tanaman dan suasana segar yang hadir di pekarangan, menjadikan bermacam aneka serangga, kumbang, dan lebah hadir.Â
Mereka seperti mempersembahkan orkestra dengan komposisi yang cukup memanjakan mata. Masing-masing memiliki kesukaan tersendiri.
Kumbang hitam berkepala kuning menyukai bunga tanaman labuh yang kuning mencolok. Pagi sekali kumbang itu mengunjungi bunga untuk menyerap sarinya. Adegan ketika kumbang itu masuk ke kelopak bunga dengan suara khasnya untuk beberapa saat, sangat indah.Â
Sementara, kumbang berwarna blue black dengan ukuran yang lebih kecil dari pada kumbang berkepala kuning lebih menyukai bunga telang yang berwarna biru keunguan.Â
Kalau sudah masuk ke kelopak telang, saya pun betah menunggunya demi menyaksikan secara langsung bagaimana mereka mempertahankan kehidupan, sekaligus membantu penyerbukan.Â
Kehadiran kumbang-kumbang tersebut membuktikan bahwa sesederhana apapun tanaman pasti akan menghadirkan kehidupan lain dalam relasi mutualisme yang memukau. Kehadiran yang satu memberikan manfaat kepada kehadiran yang lain.Â
Sambung-menyambung kehidupan menjadi mata rantai yang penuh hikmah. Ayat-ayat kehidupan yang begitu sederhana hadir di pekarangan rumah, menawarkan teladan sempurna.Â
Beberapa jenis belalang juga gemar singgah, bahkan berlama-lama, di daun sereh dan okra. Berdasarkan pengamatan, terdapat dua jenis belalang yang sering mengisi orkestra di pekarangan, yakni warna coklat kayu dan hijau.Â
Meskipun mereka suka makan daun muda sereh dan tanaman lainnya, tidak menjadi masalah, toh kuantitas yang mereka makan tidak terlalu banyak.Â
Kupu-kupu dan kaper tidak mau ketinggalan ikut merayakan kebahagiaan di pekarangan sempit. Bahkan, beberapa ada yang kepompongnya 'bertapa' di bawah daun tanaman jahe. Memang, ketika masih menjadi ulat, mereka memakan daun bunga hias dan tanaman pangan.Â
Transformasi mereka menjadi kepompong hingga akhirnya melepas baju kepompongnya dan menjadi kupu-kupu sangat indah. Tentu kita harus sabar untuk bisa menikmati momen tersebut.
Tidak mau ketinggalan, beberapa bekicot juga ikut meramaikan orkestra di pekarangan. Binatang yang suka berada di tempat lembab dan sering keluar malam hari ini mengkonsumsi dedaunan dan sampah organik yang berserakan di tanah. Dikarenakan ekosistem yang mendukung, mereka pun melakukan regenerasi di pekarangan.Â
Pagi hingga sore hari, mereka biasanya menempel dan berlindung di bawah kayu-kayu lapuk yang ada di pekarangan. Kalau sudah demikian, mereka akan bertahan lama, seperti menemukan tempat istirahat yang sangat nyaman.
Kehadiran capung berwarna hijau di dahan dan daun tanaman melengkapi orkestra sederhana tersebut. Capung menjadi binatang istimewa karena kehadiran mereka menunjukkan kualitas udara di pekarangan yang relatif baik.Â
Setidaknya, saya cukup bahagia karena usaha untuk menyegarkan udara rumah sekaligus membantu kebutuhan dapur, juga bisa dinikmati oleh makhluk hidup lainnya.Â
Apa yang tidak kalah membahagiakan adalah hadirnya capung dan bekicot mengingatkan saya akan pengalaman masa kecil. Saya dan kawan-kawan sebaya sering berburu capung di sore hari.Â
Kami mengikat ekornya dengan benang, lalu membiarkan capung terbang dalam kendali kami. Adapun terkait bekicot, saya dan kawan-kawan sering mencari untuk digoreng dan dijadikan camilan gurih dan nikmat.
Ingatan masa lalu menjadi bagian penting dalam kehidupan karena kita tetap terhubung dengan energi positif yang cukup menyenangkan dari masa anak-anak.Â
Setidaknya, kebahagiaan untuk mengenang masa kecil akan membahagiakan dan menyehatkan tubuh dan pikiran.
KEBAHAGIAAN KETIKA MEMANEN
Menanam dan merawat merupakan bagian penting dalam budidaya, kegiatan terencana untuk memelihara sumber daya hayati di sebuah lahan untuk mendapatkan manfaatnya. Meskipun tidak dalam skala luas, saya menikmati proses budidaya tanaman di tanah bukan di media lain seperti hidroponik.Â
Selain, tidak memiliki keahlian, saya merasa menanam di tanah secara langsung memberikan pengalaman sensasional, dari menggemburkan tanah, merawat tanaman, hingga memanen.Â
Selain itu, sebagai orang Jawa, saya mengadopsi prinsip "sadumuk bathuk sanyari bhumi". Artinya, seluas apapun tanah, apakah itu seluas kening, tetap harus pertahankan karena itu merupakan kehormatan. Â
Tentu saja, dalam konteks budidaya, saya memahami prinsip tersebut untuk memacu upaya menghidupkan kehidupan di tanah, sesempit apapun.Â
Kebahagiaan yang luar biasa adalah ketika kita memanen apa-apa yang kita tanam. Peristiwa memanen merupakan event yang dahsyat. Mengapa demikian? Karena ada proses panjang yang mengharuskan kita bersabar dan cerdas dalam memastikan kehidupan dari tanaman yang kita tanam. Proses itu tampak sederhana, tetapi bisa memastikan tanaman tumbuh bagus hingga bisa dipanen merupakan perjuangan.Â
Itulah mengapa, tradisi panen di banyak masyarakat agraris selalu dirayakan dengan riang gembira. Tentu saja, saya merayakan itu dalam kebahagiaan sederhana di teras rumah sembari menikmati kopi.Â
Setelah memanen dari pekarangan, biasanya saya lihat hasil panen itu untuk beberapa saat lamanya, baru kemudian saya serahkan ke istri di dapur.Â
Bisa memanen lombok atau cabe rawit dari pekarangan setelah menunggunya selama beberapa bulan menghadirkan rasa haru. Apalagi ketika lombok sedang mahal. Rasa haru bercampur bahagia ketika lombok yang kita panen dimasukkan ke dalam proses memasak.Â
Proses memanen talas (mbothe) dari sudut sempit pekarangan, membersihkannya, lalu memasaknya dengan cara dikukus, memberikan kepuasan yang luar biasa. Apalagi diteruskan dengan menikmatinya di teras rumah dilengkapi kopi. Beberapa kawan yang bertamu pun ikut menikmatinya di teras.
Begitupula, menikmati singkong goreng hasil dari pekarangan. Sensasi gurihnya memberikan kepuasan tersendiri ketika sedang memakannya saya membayangkan proses menanam batang singkong dengan cara stek hingga menunggunya bertunas sampai dengan tumbuh menjulang.Â
Mengingat singkong termasuk tanaman yang biasa tumbuh di sawah atau ladang, bisa tumbuh hingga panen di pekarangan sempit, bagi saya itu merupakan 'prestasi kecil' yang cukup membanggakan.
Selain itu semua, apa yang tidak kalah membahagiakan adalah ketika anak saya ikut menemani proses panen. Pernah suatu ketika anak kedua membantu untuk memilah-milah daun kelor yang baru saya panen dari pekarangan.Â
Setidaknya, ia bisa belajar untuk menghargai sebuah proses sederhana memanfaatkan hasil budidaya.Â
Selama aktivitas kami juga berbincang tentang pelajaran di sekolah (SD) yang sekiranya sesuai dengan aktivitas budidaya tanaman. Dari situlah ia mendapatkan tambahan pengetahuan untuk memperkaya apa-apa yang disampaikan oleh gurunya.Â
Momen-momen kecil itulah yang menjadikan saya bisa mensyukuri proses budidaya sepenuh hati, karena selalu menyisakan harapan sederhana untuk bisa memanen dan mendapatkan manfaat.Â
Itulah indahnya menikmati proses dalam hal apapun. Sekecil apapun manfaat yang kita dapatkan, kita sudah mendapatkan kebahagiaan sedari awal proses.Â
Selain itu, menyaksikan kehidupan sesama makhluk berlangsung di depan rumah merupakan anugerah yang cukup indah. Mengapa demikian? Karena sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita bisa memberikan ekosistem yang memungkinkan kehidupan makhluk hidup lain menjadi ada dan berkembang. Itulah anugerah yang tak ternilai, tetapi meresap dalam batin.
MENYEHATKAN PIKIRAN-BATIN DAN PROSES BUDAYA
Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, proses budidaya tanaman memberikan kebahagiaan dan keindahan yang sulit dicarikan padanan meterialnya.Â
Kebahagiaan dan keindahan yang dihadirkan orksestra tanaman dan semua proses yang menyertainya merupakan kualitas yang saya butuhkan di tengah-tengah kesibukan di kantor.Â
Diakui atau tidak, banyak manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) karena pikiran dan batinnya ditumpahkan untuk bekerja atau melakukan tindakan-tindakan lain yang menuntut energi fisik dan aspek mental.Â
Dalam masyarakat kapitalistik realitas alienasi merupakan gejala umum yang melanda manusia. Mereka tidak bisa menikmati tubuh, pikiran, dan batin mereka secara maksimal sehingga mudah stress dan mengalami gangguan fisik dan psikis lainnya.Â
Menyiram dan merawat tanaman dalam ritme pagi-sore bisa mengisi pikiran dan batin yang sehari-hari dipenuhi kalkulasi ekonomis, industrial, politis, ataupun akademis. Setidaknya terdapat ruang dan waktu untuk mengambil jeda dari rutinitas yang diatur dalam jadwal ketat.Â
Merawat tanaman merupakan jeda penting yang bisa digunakan untuk mendapatkan energi positif sebanyak-banyaknya yang diharapkan bisa mengimbangi pikiran dan tindakan rutin di tempat kerja.Â
Prinsip keseimbangan ini penting karena memungkinkan kita mengusahakan kesehatan untuk kehidupan kita dengan cara sederhana.Â
Ketika pikiran dan batin kita mendapatkan 'suntikan' keindahan dan kebahagiaan, di situlah kesehatan akan menemani hari-hari kita.Â
Dari manfaat positif tersebut, kita bisa mengembangkan imajinasi dalam pikiran untuk menghasilkan karya-karya kreatif dalam bidang pekerjaan. Tentu saja, itu semua adalah dampak positif yang tidak hanya berupa kesehatan, tetapi juga budaya. Mengapa demikian?Â
Karena, dengan kesehatan pikiran dan batin, didukung keindahan visual dari pekarangan, saya, misalnya, bisa mengembangkan imajinasi terkait usaha untuk menggelar pertunjukan kesenian bersama para seniman.Â
Di kampus, saya juga tidak mudah merasa lelah dan capek berlebihan, meskipun volume pekerjaan cukup banyak. Keseimbangan pikiran dan batin bisa jadi menjadi salah satu faktornya.Â
Sering ketika tubuh saya mulai terasa lelah, sembari istirahat sejenak, saya membayangkan aktivitas merawat tanaman sembari memotret mereka sesampai di rumah. Sesudahnya, saya seperti mendapatkan tambahan energi untuk kembali berkativitas.Â
Tentu saja, saya tidak mengatakan bahwa pengalaman itu berlaku bagi semua orang. Namun, saya meyakini, masing-masing orang sejatinya punya mekanisme untuk mendapatkan keseimbangan dalam hidup, sehingga tidak larut dalam alienasi.
Tidak salah kiranya kalau di judul saya menulis "bu(di)daya". Artinya, sesederhana apapun budidaya yang kita lakukan di pekarangan sempit, akan menghasilkan kehidupan sesama makhluk yang begitu indah dan menyiapkan pikiran dan batin kita untuk berkarya dan bekerja dengan gembira.Â
Selain itu, ratusan foto dari hasil memotret tanaman di pekarangan saya unggah ke beberapa akun media sosial dan mendapatkan tanggapan luas dari teman.Â
Selain itu, dengan hasil panen dari pekarangan, saya bisa berbincang dengan kawan-kawan untuk membahas banyak hal terkait kampus, kesenian, dan kebudayaan. Itu juga bukti bahwa ada proses dan peristiwa budaya yang bisa dihasilkan dari budidaya tanaman.Â
Maka, selalu memanfaatkan tanah untuk menanam, sesempit apapun, akan menghadirkan "teater kehidupan" yang memberikan manfaat kepada manusia dan sesama makhluk.Â
Relasi harmonis dengan sesama manusia dan sesama makhluk merupakan capaian penuh manfaat yang berasal dari pekarangan sempit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H