Kebahagiaan yang luar biasa adalah ketika kita memanen apa-apa yang kita tanam. Peristiwa memanen merupakan event yang dahsyat. Mengapa demikian? Karena ada proses panjang yang mengharuskan kita bersabar dan cerdas dalam memastikan kehidupan dari tanaman yang kita tanam. Proses itu tampak sederhana, tetapi bisa memastikan tanaman tumbuh bagus hingga bisa dipanen merupakan perjuangan.Â
Itulah mengapa, tradisi panen di banyak masyarakat agraris selalu dirayakan dengan riang gembira. Tentu saja, saya merayakan itu dalam kebahagiaan sederhana di teras rumah sembari menikmati kopi.Â
Setelah memanen dari pekarangan, biasanya saya lihat hasil panen itu untuk beberapa saat lamanya, baru kemudian saya serahkan ke istri di dapur.Â
Bisa memanen lombok atau cabe rawit dari pekarangan setelah menunggunya selama beberapa bulan menghadirkan rasa haru. Apalagi ketika lombok sedang mahal. Rasa haru bercampur bahagia ketika lombok yang kita panen dimasukkan ke dalam proses memasak.Â
Proses memanen talas (mbothe) dari sudut sempit pekarangan, membersihkannya, lalu memasaknya dengan cara dikukus, memberikan kepuasan yang luar biasa. Apalagi diteruskan dengan menikmatinya di teras rumah dilengkapi kopi. Beberapa kawan yang bertamu pun ikut menikmatinya di teras.
Begitupula, menikmati singkong goreng hasil dari pekarangan. Sensasi gurihnya memberikan kepuasan tersendiri ketika sedang memakannya saya membayangkan proses menanam batang singkong dengan cara stek hingga menunggunya bertunas sampai dengan tumbuh menjulang.Â
Mengingat singkong termasuk tanaman yang biasa tumbuh di sawah atau ladang, bisa tumbuh hingga panen di pekarangan sempit, bagi saya itu merupakan 'prestasi kecil' yang cukup membanggakan.
Selain itu semua, apa yang tidak kalah membahagiakan adalah ketika anak saya ikut menemani proses panen. Pernah suatu ketika anak kedua membantu untuk memilah-milah daun kelor yang baru saya panen dari pekarangan.Â
Setidaknya, ia bisa belajar untuk menghargai sebuah proses sederhana memanfaatkan hasil budidaya.Â