Beberapa kawan menggelar tikar untuk duduk. Sembari menikmati pisang yang dibawa Bu Natun, kami berbincang kecil tentang kemungkinan menggelar even bernuansa ekologis dan kultural di kawasan Watangan, termasuk di gua-gua purbakala.Â
Beberapa alternatif konsep yang menekankan aspek akademis/edukasi, jelajah kepurbakalaan, ritual/slametan, dan pertunjukan kolosal pun mengalir.
Sembari mendengarkan kawan-kawan berdikusi, mata saya tertuju kepada lubangdidinting setinggi sekira 1,5 meter yang berbentuk seperti ujung tombak.Â
Lubang tersebut terletak beberapa meter di samping pintu masuk. Apakah lubang tersebut berfungsi sebagai jendela sehingga para manusia purba yang tinggal di dalamnya tetap bisa menghirup udara segar? Mungkin demikian.
Yang pasti saya sempat berimajinasi, lubang tersebut menyerupai lorong waktu yang akan membawa manusia ke dimensi dan waktu yang berbeda. Seperti yang banyak diceritakan dalam film fiksi ilmiah.Â
Selain itu, saya juga merasakan dimensi spiritual yang kuat ketika menatap lebih lama lubang tersebut. Pikiran dan batin saya seperti diajak untuk menuju ke dimensi hening yang langsung menuju kepada kekuasaan Gusti Hang Akaryo Jagat.
Hampir satu jam berada dalam gua, kami pun keluar satu per satu. Sembari menikmati udara yang lebih segar di bagian depan gua, saya membayangkan bagaimana hominid Austromelanesoid sampai di kawasan Watangan ini, termasuk Pegunungan Sewu, Jawa Tengah. Mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dari Afrika terus ke Asia Tenggara dan sampai ke beberapa wilayah seperti Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa.Â
Di Jawa, manusia purba Austromelanesoid memilih untuk menetap di gua-gua di kawasan pegunungan kapur yang dekat dengan laut. Selain untuk tempat berlindung dan tinggal, posisi gua yang dekat dengan laut juga mempermudah mereka untuk mencari makan, berupa kerang.