Sekira enam tahun yang lalu, seorang kawan wartawan bertanya kepada saya, "mengapa di Banyuwangi tidak ada gerakan pertanian berdimensi kelestarian ekologis, padahal di sini banyak ritual yang dikaitkan dengan pertanian seperti Kebo-keboan?"Â
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak mungkin saya hanya melihat masa kini ketika ritual Kebo-keboan di Aliyan Rogojampi dan Alasmalang Singojuruh menjadi kegiatan budaya yang oleh pemerintah kabupaten dimasukkan adenda pariwisata tahunan.
Ritual-ritual berbasis tradisi agraris di komunitas Using ini bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar diberikan kesuburan tanaman dan kemelimpahan hasil panen. Keatraktifan manusia yang berdandan dan bertingkah seperti kerbau menjadi alasan utama rezim Orde Baru untuk memasukkannya ke dalam agenda pariwisata dengan alasan pelestarian budaya daerah.
Indonesia di masa Orde Baru adalah contoh sempurna bagaimana usaha pemertahanan budaya tradisional justru tidak memunculkan kekuatan komunal untuk melawan kekuatan-kekuatan dominan yang berpotensi merugikan masyarakat. Maka, tidak mengherankan kalau acara-acara kultural yang berdimensi ritual, kesenian, dan lingkungan serta mengikat rakyat dalam mekanisme simbolik-komunal dengan mudah dipermak untuk kemudian dimasukkan ke dalam agenda pariwisata daerah.Â
Umbul-umbul/spanduk/bendera sponsor tertentu, sambutan pejabat dan tambahan acara menjadi semakin biasa. Peristiwa tersebut menandakan betapa aktivitas pemertahanan yang dilakukan oleh warga dengan misi eko-kultural sekaligus untuk mengosiasikan identitas di tengah-tengah modernitas, mendapatkan pemaknaan kapitalistik oleh rezim negara dan pemodal swasta.Â
Dalam kondisi demikian, harapan dan keinginan ideal para pelaku memang tidak musnah bersama deruh nafas dan ketajaman mata para wisatawan. Namun, diakui atau tidak, pelan tapi pasti, aspek perayaan dalam bingkai pariwisata akan lebih dominan alih-alih kemanunggalan makna alam, ritual, kesenian, dan manusia.Â
Apalagi kalau transfer pengetahuan yang ada dalam peristiwa ritual terhalangi oleh sekian aturan kepatutan bagi generasi muda. Akibatnya adalah marjinaliasi, atau bahkan kalau perlu pemusnahan, semangat komunal yang resisten terhadap cara bertani ala rezim negara.Â
Selain itu, maksimalisasi perayaan ritual agraris dalam dimensi pariwisata merupakan cara efektif bagi marjinalisasi kekuatan ekologis yang dulu menyatu dengan jiwa para petani. Mereka menjadikan ritual, yang oleh para tokoh adat masih dikatakan bermakna, sebagai ajang pertemuan komunal, tetapi bukan untuk menggiatkan-kembali penggunaan pupuk kandang atau pestisida berbahan alami atau mencari hari-hari tertentu untuk memulai musim tanam.Â
Mekanisme pertanian yang dibalut ritual perlahan-lahan kehilangan makna ekologis-kontekstualnya. Apalagi secara praksis, pertanian bukan lagi diorietasikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi memenuhi perputaran mesin kebutuhan konsumsi dan industrial yang lebih luas.Â
Tidak mengherankan, meskipun banyak masyarakat masih menggelar ritual agraris, tetapi mekanisasi dan kimiawisasi pertanian semakin meningkat. Itulah salah satu warisan sempurna Orde Baru dalam hal kebudayaan di mana kekayaan ritual yang seharusnya menjadi kekuatan identitas komunal untuk memperkuat dan memberdayakan subjektivitas mereka perlahan-lahan diposisikan sebagai perayaan yang sangat meriah.Â