Padahal masih banyak pula ritual yang tetap ada meskipun tidak dimasukkan sebagai agenda wisata. Logika pelestarian berdimensi ekonomi wisata menjadi semacam rezim kebenaran yang berpengaruh luas kepada pemahaman dan tindakan anggota masyarakat, birokrat, pelaku, ataupun legislatif.
Dengan demikian, kapitalisasi ritual sudah digerakkan menjadi rezim kebenaran sejak era Orde Baru hingga era pascareformasi ketika peradaban pasar semakin menguat.
Ketika “kebudayaan” digabungkan-kembali dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di era Presiden Jokowi, ada harapan bahwa urusan kebudayaa bangsa tidak akan direcoki oleh campur-tangan birokrat pariwisata. Susahnya, di banyak kabupaten, urusan kebudayaan masih menjadi satu dengan Pariwisata, sehingga nomenklatur kementrian tersebut belum bisa menunjukkan pengaruh massifnya.
Apa yang patut dipertimbangkan adalah disahkannya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan yang berisi komitmen rezim negara di bawah Presiden Joko Widodo untuk melestarikan, mengembangkan, membina, dan memberdayakan budaya lokal. Salah satu keuntungan yang dimaksimalkan adalah bahwa urusan kebudayaan tidak harus selalu "direcoki" dengan target-target wisata.
Namun demikian, secara umum Kementerian Pariwisata masih memosisikan aktivitas ritual sebagai salah satu penopang utama kegiatan pariwisata berorientasi devisa. Apalagi di tingkat bawah masih banyak kabupaten yang nomenklaturnya masih Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Tidak mengherankan apabila wacana dan gerakan untuk menyatukan kegiatan ritual dengan industri pariwisata masih tetap gencar. Efek diskursif dan praksisnya adalah masyarakat juga semakin biasa dengan labelisasi wisata untuk ritual.
Dalam pandangan birokrat, terdapat beberapa pernyataan khas terkait wacana “ritual dan pariwisata”. Pertama, “ritual adalah budaya yang berkaitan dengan kehidupan warga bisa dipromosikan untuk aktivitas pariwisata”. Wacana hegemonik ini menjadi “mantra” yang selalu dimobilisasi banyak pejabat kementrian atau dinas ketika membicarakan ritual.
Kasubid Promosi Wisata Sejarah dan Religi Bidang Wisata Budaya Kementerian Pariwisata RI, Wawan Gunawan, di sela-sela perhelatan ritual di Bandung tahun 2015, menegaskan bahwa ritual adalah kekayaan budaya berdimensi lingkungan dan alam yang harus dilestarikan karena bisa menjadi program pariwisata.
Apalagi Kementerian Pariwisata memang memiliki program untuk mempromosikan wisata budaya. Tidak mengherankan kalau pihak Kementerian siap memberikan dukungan finansial untuk acara-acara ritual yang masih dilestarikan dan bisa mendukung industri pariwisata (https://www.merdeka.com/gaya/kementerian-pariwisata-serius-urus-wisata-ritual-di-bandung.html).
Harapan akan topangan dana ini menjadikan para pelaku ritual berlomba-lomba memasukkan agenda ritual tahunan mereka yang terkait dengan pertanian, lingkungan, gunung, laut, dan yang lain, masuk ke dalam agenda pariwisata, baik di tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional.
Kedua, “untuk menjadi bagian dari aktivitas wisata, ritual perlu dikemas-ulang dengan memberikan paket-paket tambahan kepada para wisatawan”. Yadnya Kasada, misalnya, awalnya hanya ritual persembahan warga Tengger di Gunung Bromo. Namun, selama beberapa tahun terakhir, rezim negara melakukan intervensi yang disepakati para pelaku adat di Tengger dengan menciptakan atraksi tambahan yang bisa menjadikan para wisatawan tidak hanya menikmati ritual dan gunung.