Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ritual Adat dalam Pelukan Pariwisata di Era Pascareformasi

12 Maret 2022   05:00 Diperbarui: 15 Mei 2022   14:27 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual Kebo-keboan, Alasmalang, Banyuwangi. Dok. Wisnu Bangun S.

Ketika kedatangan para wisatawan semakin banyak datang ke sebuah daerah, maka kebutuhan-kebutuhan untuk mereka harus dipenuhi. Salah satunya adalah transportasi dan akomodasi. Tidak mengherankan, blow up media yang luar biasa terhadap kekayaan alam dan budaya Banyuwangi, ikut berkontribusi dalam mendatangkan banyak wisatawan nusantara maupun mancanegara (sumber).

Maka, investor-investor besar mulai melakukan investasi. Salah satunya adalah investasi bidang perhotelan. Hal serupa juga terjadi di wilayah-wilayah lain. Ini menunjukkan bahwa “mata pemodal” selalu mengintai peluang-peluang baru yang bisa mendukung akumulasi modal mereka. Dalam konsep kapitalisme neoliberal, kekuatan-kekuatan tradisional yang dulunya dianggap menghalangi ekspansi diposisikan sebagai sumber keuntungan baru. 

Batas-batas yang dulu membelenggu nalar dan praktik ekspansi pemodal dengan bermacam resistensi melalui komunalisme dan tradisionalisme secara meyakinkan dilebur dalam rumus-rumus inkorporasi yang menjadikan kekayaan budaya lokal bagian sah gerakan pemodal. 

Tidak mengherankan, dari hari ke hari, eksploitasi dan mobilisasi eksotika alam dan budaya melalui media dan beragam paket promosi nasional dan internasional semakin meningkat. Dalam kondisi demikian, keberdayaan ekonomi masyarakat bisa dibaca-ulang secara kritis. Sekali lagi, keuntungan pragmatis secara ekonomi memang didapatkan, tapi tidak sebesar yang diperoleh para pemodal besar yang berinvestasi di daerah.  

Kenyataan tersebut memunculkan ketidakpuasan para pelaku budaya di tingkat bawah dan LSM berusaha memformulasi konsep pariwisata yang menjual ritual sekaligus kekhasan wilayah masing-masing, seperti kuliner, kesenian, dan pesona alam desa. 

Warga masyarakat dilibatkan secara langsung untuk melayani para wisatawan nusantara maupun mancanegara, khususnya untuk urusan kuliner, produk pertanian dan perkebunan, kesenian, dan penginapan. Di Desa Kemiren Banyuwangi, misalnya, warga menyambut wisatawan dengan kuliner dan kesenian khas serta ritual tahunan seperti Barong Ider Bumi. Begitupula di Desa Olehsari yang membuat pasar kusus kuliner tradisional. 

Ritual Barong Ider Bumi. Dok. Ira Rachmawati via Kompas.com
Ritual Barong Ider Bumi. Dok. Ira Rachmawati via Kompas.com
Sebagai usaha, tentu ini sangat menyenangkan karena melibatkan langsung pelaku dan masyarakat serta memberikan keuntungan kepada mereka, khususnya dalam hal pelestarian keunikan tradisi dan manfaat ekonomi. Sejatinya, gerakan yang mereka lakukan bukan sekedar menjual keunikan, tetapi sekaligus memberdayakan pemahaman terhadap makna-makna ritual untuk pemertahanan identitas dan gerakan ekologis. 

Gerakan eko-kultural merupakan konsep yang sebenarnya secara perlahan bisa dihidupkan-kembali oleh para pelaku dan pendamping aktivitas wisata budaya di desa. Gerakan ini menggabungkan dan memperkuat-kembali pemahaman masyarakat terhadap keterikatan dan integrasi ekspresi budaya seperti seni dan ritual dengan praktik konservasi ekologis. 

Kehadiran ritual tentu tidak bisa dilepaskan dari pemahaman nenek-moyang terhadap keharmonisan mikrokosmos dan makrokosmos, termasuk lingkungan di dalamnya. 

Para pelaku dan pendampinglah yang memiliki kesempatan untuk membincang-kembali kekuatan kultural yang bisa mendukung gerakan ekologis, seperti kesadaran terhadap pentingnya sumber mata air, pentingnya bambu dan pohon, pengurangan pestisida, serta perlawanan terhadap perusakan lingkungan oleh rezim negara dan rezim pemodal dalam pertambangan atau pariwisata yang ekspansionis. 

Kalau para pelaku dan pendamping hanya menjual keunikan ritual dan ekspresi budaya lainnya, maka tidak ada bedanya dengan perilaku rezim negara dan pemodal yang melestarikan tradisi untuk terus mengeksotisasi budaya lokal untuk mengeruk keuntungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun