Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Gunung Watangan, Benteng Alam di Kawasan Selatan Jember

24 Februari 2022   05:00 Diperbarui: 24 Februari 2022   10:02 2679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual Wiwitan di Watangan. Dok. penulis

Selama setahun terakhir, berita yang cukup menghebohkan publik adalah prediksi BMKG tentang kemungkinan gempa megathrust di selatan Jawa yang berpotensi tsunami. 

Sebagian kawasan selatan Jember yang berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia menjadi wilayah yang berpotensi terdampak. Apalagi, dalam catatan sejarah gempa megathrust, wilayah Jember pernah dihantam tsunami pada tahun 1921.

BENTENG ALAM

Menyadari kerentanan tersebut, menjadi penting bagi warga Jember untuk merawat "benteng alam" yang masih ada di kawasan selatan Jember. Apa yang saya maksud dengan benteng alam adalah kawasan perbukitan dan hutan yang membentang di kawasan Silo hingga Tempurejo dan Wuluhan. 

Kawasan-kawasan itulah yang bisa menjadi pelindung ketika terjadi tsunami dari Samudra Indonesia atau yang oleh orang Jawa disebut Segara Kidul. 

Sebagai benteng alam, kelestarian kawasan tersebut menjadi sangat penting karena kerusakannya akan berdampak langsung terhadap keselamatan warga yang bermukim di wilayah sekitarnya.

Kawasan perbukitan di selatan Jember merupakan "anugrah ekologis". Selain keindahan dan kekayaan alam yang begitu sempurna, kawasan ini menjadi tanda betapa baiknya Tuhan terhadap umat manusia karena melindungi mereka dari bencana alam. Namun, Tuhan juga menjadikan anugrah tersebut sekaligus sebagai "ujian ekologis". 

Artinya, kalau para pemodal besar ingin merusak secara massif untuk mengeruk mineral seperti emas yang mungkin terdapat di dalamnya, maka bencana itu tidak bisa dihadang dan diminimalisir dampaknya. Tsunami dengan mudah menerjang kawasan pemukiman. Inilah mengapa perbukitan di kawasan selatan Jember bisa dikatakan anugrah sekaligus ujian ekologis.

Beberapa tahun terakhir, rencana pertambangan emas di kawasan Silo mengusik ketentraman warga Jember. Mayoritas warga masyarakat menolak rencana pemerintah  provinsi dan pemerintah pusat tersebut. Di zaman Bupati Faida (2015-2020), rencana pertambangan tersebut ditolak oleh Pemkab Jember. 

Namun, di zaman Bupati Hendy (2021-2024), rencana pertambangan tersebut muncul kembali dan menimbulkan penolakan warga. Apa yang seringkali diabaikan pemerintah pusat dan provinsi adalah dampak destruktif pertambangan di kawasan yang berbatasan langsung dengan laut lepas. Selain limbah yang mengancam ekosistem yang berdampak pada kesehatan manusia, musnahnya benteng alam menjadikan kawasan selatan Jember dan sekitarnya sangat rentan terkena tsunami. 

Salah satu benteng alam di selatan Jawa yang sebentar lagi akan hilang dari pandangan mata adalah Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung Kecataman Pesanggaran, Banyuwangi. Kerakusan pemodal tambang untuk mengeruk emas dengan izin Negara, menjadikan kawasan Sumberagung dan sekitarnya bisa terdampak tsunami secara langsung. Apalagi di kawasan Pancer pernah terjadi tsunami yang menyebabkan ratusan korban jiwa. 

Sementara, di kawasan Trenggalek, benteng alam di pinggir Samudra Indonesia juga hendak dieksploitasi oleh pemodal besar. Sampai saat ini warga melakukan penolakan terhadap rencana pertambangan tersebut. Tidak menutup kawasan-kawasan lain di selatan Jawa juga akan menghadapi masalah serupa. 

Ini tentu tidak lepas dari keberpihakan pemerintah terhadap usaha pertambangan. Padahal, di seluruh muka bumi ini, usaha pertambangan emas benar-benar menjadi malapetaka lingkungan dan membahayakan kehidupan manusia.

Tentu saja mayoritas warga Jember tidak ingin kawasan selatan sebagai benteng alam ditambang dan hanya menguntungkan segelintir orang. Selama ini, warga sudah menikmati kebaikan benteng alam berupa kawasan hutan yang kaya potensi alam dan ekonomi. Mereka juga sudah mengelola kawasan pertanian yang cukup subur di kawasan yang lebih rendah. 

Jadi, keinginan pemodal besar dan pemerintah pusat dan provinsi tidak mencerminkan suara mayoritas. Dan, kalau dibiarkan, masyarakat akan menganggap Negara hanya bisa merusak alam serta memusnahkan ruang hidup dan ekonomi warga,  demi melegitimasi kehendak segelintir orang kaya.

KEKAYAAN FLORA & FAUNA DI GUNUNG WATANGAN

Salah satu benteng alam yang sampai sekarang masih kokoh berdiri adalah Gunung Watangan. Kawasan perbukitan (warga setempat menyebutnya "gunung") yang membentang dari arah barat yang masuk wilayah administratif Desa Puger Wetan Kecamatan Puger ke arah timur yang masuk wilayah administratif Desa Lojejer Wuluhan. Ia berdiri kokoh, siap menjadi "tameng" yang melindungi warga Wuluhan dan sekitarnya.

Gunung Watangan dari arah Desa Ampel, Wuluhan. Dok. penulis
Gunung Watangan dari arah Desa Ampel, Wuluhan. Dok. penulis

Kekokohan Watangan dilengkapi kekayaan dan keragaman hayati berupa flora dan fauna. Untuk melindungi kekayaan flora dan faunanya, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Cagar Alam Watangan Puger berdasarkan SK Gubernur  GB 83 Stbl 1919 Nomor 392 tanggal 11 Juli 1919. Keputusan tersebut diperbarui oleh SK Menteri Pertanian RI Nomor 111/Um/1958 tanggal 22 Juli 1958 dengan luas 2 hektar.

Menurut catatan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Timur, di kawasan cagar alam terdapat aneka flora dan fauna (sumber). Untuk flora kita bisa menjumpai pohon slumprit, bendo, lo, beringin, awar-awan, luwingan, kedoyo, kepuh, winong, jambu hutan, juwet, salam, waru laut, kesambi, rau, dadap serep, asam Jawa, kelampis, sempur, asem londo, jati, nyamplung, dan tanjung.

Sementara, untuk fauna kita bisa menjumpai kera abu-abu, kera hitam, kalong, srigunting, kutilang, trocokan, perenjak, ular sanca sawah, bunglon, tokek. Menurut cerita warga setempat, di Watangan pada era 1990an masih terdapat banyak hewan liar seperti banteng, harimau kumbang, kijang, aneka macam burung, dan yang lain. Bahkan, ketika musim kemarau, ada beberapa banteng dan kijang yang "nyasar" ke lahan pertanian warga karena mencari air. 

Cagar alam Watangan-Puger. Dok. BSKDA Jatim
Cagar alam Watangan-Puger. Dok. BSKDA Jatim
Sayangnya, menurut catatan BKSDA Jawa Timur, satwa tersebut sudah tidak ditemukan. Meskipun demikian, warga mengaku masih menjumpai kijang dan harimau kumbang. Tentu, untuk membuktikannya dibutuhkan penelitian mendalam.

Selain menjadi kawasan cagar alam, di bagian tengah ke bawah, khususnya yang masuk wilayah Desa Lojejer, terdapat kawasan hutan jati yang dikelola Perhutani. Sementara, di bagian bawah merupakan wilayah pemukiman warga etnis Jawa sekaligus kawasan pertanian yang cukup subur. Para petani biasa menanam padi, aneka palawija, kubis, cabe, dan yang lain. Pohon kelapa juga tumbuh cukup baik di kawasan pemukiman warga. 

Warga dusun juga pergi ke hutan untuk mencari pakan ternak, ranting untuk kayu bakar, dan belalang. Setahun sekali, warga dusun akan masuk ke hutan untuk mencari belalang yang biasa memakan daun jati. Biasanya mereka berangkat menjelang petang. Mereka berburu belalang di malam hari. Selain untuk lauk, mereka juga menjual belalang hasil tangkapan. Penghasilan dari menjual belalang lumayan untuk membantu kebutuhan keluarga.  

Kalau kita menuju Watangan melalui jalur Wuluhan, kita bisa lewat Dusun Sambiringik dan Pumo, Desa Ampel menuju Dusun Sebanen, Lojejer. Di sepanjang jalan, kita akan menikmati bentang perbukitan yang hijau. Hamparan sawah laksana permadani hijau dengan tanaman pangan yang menjamin kehidupan warga dusun. Jalur lain, kita bisa melewati Dusun Kepel, Lojejer.

Sementara, kalau kita ingin lewat Puger, kita bisa menyeberang dengan perahu nelayan melalui muara sungai Bedadung menuju Kucur. Di Kucur ini terdapat sendang (telaga) yang seringkali didatangi kera. Dari Kucur kita bisa naik menuju Watangan. Birunya Samudra Indonesia mendamaikan batin dan pikiran setiap orang yang mendaki Watangan via Kucur. 

POTENSI KEPURBAKALAAN

Selain kekayaan flora dan fauna, di kawasan Watangan juga terdapat potensi kepurbakalaan yang berada dalam gua-gua di Dusun Kepel dan Dusun Sebanen, Lojejer. Di kedua dusun, setidaknya terdapat tujuh gua yang sudah berhasil diidentifikasi dengan rincian tiga gua tidak layak huni (dua di Sebanen dan satu di Kepel) dan empat gua layak huni (Gua Sodong, Marjan, Gelatik, dan Macan.

Berdasarkan penelitiannya di Gua Sodong dan Marjan, van Heekeren (dikutip dalam Nurani, 1996) menjelaskan bahwa di Sodong terdapat peninggalan purbakala berupa serpih bilah berbahan batu andesit, jaspis dan kalsedon, mata panah, gurdi, dan kapak genggam. Selain alat berbahan batu, di gua ini juga terdapat alat berbahan tulang seperti sundip dan lancipan. 

Pengurus DeKaJe bersama seniman di Gua Sodong. Dok. Eko Suwargono
Pengurus DeKaJe bersama seniman di Gua Sodong. Dok. Eko Suwargono
Temuan lainnya berupa bahan pewarna merah (oker merah), gigi geraham manusia, perhiasan dan kulit kerang mutiara yang diberi lubang, tulang-tulang binatang sebagai sisa makanan, dan rangka manusia dalam posisi terlipat. Sementara, di Gua Marjan terdapat banyak rangka manusia. Temuan rangka manusia ini berciri Australomelanesid.

Nurani (1996), berdasarkan penelitiannya di Gua Macan dan Gelatik menjelaskan bahwa kedua tersebut gua merupakan hunian manusia purba di zaman palaeolitikum dengan temuan berupa kapak perimbas, kapak penetak, alat serpih, bilah, dan serut. Meskipun bahannya kurang bagus, kemampuan menghasilkan alat-alat tersebut mengindikasikan bahwa manusia penghuni wilayah ini memiliki kecakapan kreatif yang cukup bagus.

Bagian depan Gua Marjan. Dok. Eko Suwargono
Bagian depan Gua Marjan. Dok. Eko Suwargono
Temuan-temuan tersebut menegaskan bahwa sebagai benteng alam, Watangan juga menjadi hunian manusia purba. Artinya, Watangan merupakan kawasan purbakala yang memiliki fungsi strategis bagi kehidupan manusia sejak zaman dahulu kala. 

Sayangnya, kekayaan purbakala tersebut tidak banyak diketahui oleh warga Jember. Ini tentu sangat memprihatinkan. Sementara banyak pakar internasional dan nasional berusaha menggali peninggalan zaman purba di wilayah Watangan, mayoritas warga Jember tidak mengetahuinya.  

Sosialisasi potensi kepurbakalaan Watangan bisa dilakukan melalui jalur formal dan informal. Secara formal, potensi kepurbakalaan Watangan bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Jember, dari tingkat dasar, tingkat lanjut, hingga perguruan tinggi. Secara informal, para pemerhati dan peneliti kepurbakalaan bisa menyebarluaskannya melalui penerbitan buku, tulisan di majalah, artikel jurnal, ataupun bermacam konten new media. 

Semakin banyak warga, khususnya generasi muda, yang mengetahui potensi kepurbakalaan tersebut, semakin banyak pula pihak yang akan ikut merawat keberadaan benteng alam Watangan. Rasa empati publik bisa menjadi kekuatan strategis untuk terus merawat dan melestarikan ekosistem Watangan sekaligus menangkal kekuatan jahat yang hendak merusaknya.

MERAWAT WATANGAN

Untuk mempertahankan kekokohan Watangan, tentu dibutuhkan kerjasama lintas sektor. BKSDA menjadi kekuatan utama untuk menjaga kawasan cagar alam. Sementara, Perhutani menjadi penopang untuk pemanfaatan kawasan hutan produktif secara bijak. Tidak mengganti pohon jati dengan tanaman lain yang bisa merusak formasi kawasan merupakan tindakan bijak. 

BSKDA dan Perhutani harus menggandeng warga untuk berpartisipasi dalam pelestarian ekosistem Watangan. Warga dipersilahkan mendapatkan keuntungan sejauh tidak melakukan tindakan-tindakan destruktif. Warga, misalnya, bisa memanfaatkan lahan di bawah tegakan untuk menanam tanaman empon-empon seperti kunir, lengkuas, kunir, dan yang lain. Mereka juga bisa mendapatkan aneka herbal yang terdapat di Watangan.

Para pelaku seni dan budaya bisa menyiapkan gelaran bersama warga yang didesain untuk gerakan ekologis-kultural. Artinya, mereka bisa membuat pertunjukan, ritual, seminar, dan lomba sebagai bentuk kampanye agar masyarakat dan pemerintah terus meningkatkan kepedulian untuk merawat ekosistem Watangan, bukan merusaknya.

Dewan Kesenian Jember (DeKaJe), misalnya, menginisiasi sebuah ritual "Wiwitan" pada 13 Pebruari 2022, bertempat di kawasan hutan jati Dusun Sebanen, Desa Lojejer. Ritual ini merupakan kerjasama DeKaJe dengan pelaku seni dan budaya serta warga masyarakat tepi hutan. 

Sesepuh Dusun memimpin
Sesepuh Dusun memimpin "laku nuju sumber". Dok. Eko Suwargono

Sebagai aktivitas awal, mereka melakukan "laku nuju sumber", perjalanan menuju air terjun Ma Elang untuk berdoa kepada Tuhan dan memohon izin kepada kekuatan supranatural yang menjaga Watangan. Di pimpin sesepuh dusun, beberapa pelaku seni dan pengurus DeKaJe berjalan kaki menuju air terjun Ma Elang. 

Sesampai di sana, mereka melantunkan doa kepada Tuhan agar merestui dan meridhoi ritual Wiwitan yang akan dilakukan. Suara gemericik air terjun Ma Elang, meskipun debet airnya kecil, seperti menyanyikan kidung bumi yang begitu damai. Suasana tersebut sesuai dengan kebutuhan ritual yang harus hening. 

Ritual
Ritual "laku nuju sumber" di air terjun Ma Elang, Watangan. Dok. Eko Suwargono
Sesudahnya, ritual Wiwitan dilaksanakan di bagian pinggir hutan jati yang tidak jauh dari Sebanen, tepatnya di jalan masuk menuju air terjun. Dengan tumpeng dan sesajen lainnya, Suharto, M.A., dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, memimpin ritual dengan memadukan doa berbasa Arab dan Jawa. Para pelaku ritual, baik laki-laki dan perempuan, mengamini doa yang disampaikan Suharto.

Ritual ini dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan warga Jember dengan Watangan sebagai benteng alam melalui upaya pelestarian ekosistem kawasan yang melibatkan bermacam individu, komunitas, dan organisasi. Doa-doa yang disampaikan diharapkan bisa menjadi energi positif yang mampu merangkul segenap isi Watangan sehingga para pelaku seni dan budaya, warga masyarakat, dan intansi pemerintahan terkait memiliki kekuatan untuk terus bergerak bersama demi melestarikan Watangan.

Ritual Wiwitan di Watangan. Dok. penulis
Ritual Wiwitan di Watangan. Dok. penulis
Ritual Wiwitan merupakan upaya awal untuk memohon restu Tuhan dan alam semesta atas usaha eko-kultural yang dilakukan DeKaJe bekerjasama dengan pelaku seni dan budaya, warga masyarakat, dan bermacam organisasi. Menyatukan batin dan pola manusia dengan alam semesta diharapkan bisa mewujud energi yang akan sampai kepada Tuhan. 

Gerakan eko-kultural yang sudah pernah dilakukan akan menjadi modal utama untuk menyukseskan gelaran serupa di kawasan Watangan. Meskipun waktunya masih menunggu perkembangan pandemi Covid-19, setidaknya, wacana tentang pentingnya even di Watangan bagi upaya ekologis untuk mempertahankan benteng alam sudah didengar dan dibicarakan publik.

Para pelaku ritual khusuk menghayati doa bersama. Dok. penulis
Para pelaku ritual khusuk menghayati doa bersama. Dok. penulis
Ke depan, tidak hanya aktivitas budaya yang bisa dilakukan, tetapi juga aktivitas wisata eko-kultural yang menekankan peran komunitas. Apa yang dimaksud dengan wisata eko-kultural adalah kegiatan wisata yang menggabungkan keindahan dan kekayaan alam dengan keunikan budaya masyarakat. 

Para pelaku wisata bisa mendesain wisata minat khusus di mana wisatawan yang suka berpetualang diajak menelusuri ekosistem Watangan dan kalau perlu bermalam di sana. Para wisatawan bisa disuguhi hiburan kesenian khas seperti jaranan, reyog, wayang, dan lain-lain. Mereka juga bisa menikmati kuliner khas masyarakat tepi hutan, seperti belalang jati kalau lagi musim.

Aktivitas wisata tersebut bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan aneka tumbuhan dan hewan yang hidup di Watangan, termasuk potensi kepurbakalaan, gua, sejarah, dan kebudayaan. Dengan tumbuhnya aktivitas eko-kultural yang dikelola bersama warga, BKSDA, dan Perhutani, semua pihak yang terlibat memiliki tanggung jawab bersama untuk terus merawat dan menjaga kekokohan formasi Watangan. 

Para seniman dan warga, selain menyediakan atraksi kesenian dan aneka kuliner juga bisa menjadi guide bagi para wisatawan karena merekalah yang lebih memahami medan di Watangan. Keterlibatan warga komunitas dan seniman, selain memberikan tambahan rezeki, juga diharapkan bisa memperkuat rasa cinta mereka terhadap kelestarian Watangan.

Para pakar pertanian bisa diajak untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas aktivitas pertanian warga di kawasan pinggir hutan. Hamparan sawah yang cukup subur bisa menjadi ruang produktif untuk menjalankan aktivitas pertanian dengan variasi tanaman pangan yang bisa memberikan keuntungan ekonomis kepada warga. Dengan aktivitas pertanian yang bagus, warga tidak akan berpikir untuk menebang pohon di kawasan Watangan.

Hamparan lahan pertanian nan subur di bawah Watangan. Dok. penulis
Hamparan lahan pertanian nan subur di bawah Watangan. Dok. penulis
Pakar jamu atau pengobatan herbal bisa diminta untuk membuat pelatihan untuk pengelolaan tanaman, proses pasca panen, dan jalur penjualan tanaman herbal yang bisa dikembangkan di kawasan Watangan. Dengan demikian, warga di tepi hutan akan menjalankan aktivitas pertanian spesifik yang berhubungan dengan industri jamu atau obat herbal. Harapannya, mereka akan memiliki pekerjaan alternatif yang menguntungkan.  

Dengan aktivitas-aktivitas di atas, masyarakat Jember memiliki alasan dan energi bersama untuk melawan kekuatan pemodal yang hendak melakukan eksploitasi sumberdaya mineral. Keuntungan ekonomis, sosial, ekologis, dan kultural yang didapatkan warga dengan lestarinya Watangan, tentu jauh lebih bermanfaat alih-alih pengerukan materi tambang yang bisa berakhir dengan hilangnya benteng alam di selatan Jember. 

DAFTAR BACAAN

Nurani, I. A. 1996. "Teknologi Alat Batu Dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan." Berkala Arkeologi, 16(1), 1--12.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun