Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Ekologis: Krisis Lingkungan dalam Tatapan Kreatif Seniman

19 Februari 2022   11:33 Diperbarui: 27 Februari 2022   12:56 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale. Dok. Senidiharilibur.com.

Krisis ekologis di planet ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak, dari warga biasa, peneliti, hingga pemerintah. Ancaman nyata perubahan iklim yang bisa berdampak sangat buruk bagi lingkungan tentu mengkhawatirkan sekaligus menakutkan karena berkaitan langsung dengan peradaban umat manusia.

Bermacam kampanye lingkungan dilakukan oleh pemerintah, LSM, akademisi, dan yang lain. Meskipun seringkali terjadi kontradiksi karena banyak pemerintah yang melegalisasi perusakan lingkungan atas nama investasi (pertambangan, perkebunan, perumahan), tetapi kampanye untuk menanam pohon, misalnya, terus berjalan. Negara-negara adikuasa terus menggenjot sektor industri yang meningkatkan jumlah karbon di atmosfer, sembari membuat citra global terlibat dalam penyelamatan bumi.

Sebagai individu dengan kemampuan imajinatif yang hidup di tengah-tengah permasalahan lingkungan di kawasannya masing-masing, para seniman tergerak memberikan tanggapan kreatif berupa karya artistik yang berorientasi kepada tema-tema kerusakan ekologis dan usaha untuk membangun kesadaran publik terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan di planet ini.

Seni ekologis dalam bentuk seni instalasi. Dok. www.hisour.com 
Seni ekologis dalam bentuk seni instalasi. Dok. www.hisour.com 
Para seniman Barat, khususnya dari Jerman, sejak tahun 1960-an, sebut saja Nikolaus Lang, Lili Fischer, Hans Haakke, Joseph Bois dan Alan Sonfist, merintis karya seni yang bercirikan keterhubungan dengan lingkungan tempat tinggal manusia (https://www.hisour.com/ecological-art-21062/). Mereka mengeksplorasi bahan dari tanah liat dan membuat karya instalasi di kawasan pertanian ataupun lanskap sebuah wilayah. Para seniman tersebut mengangkat topik tentang perlunya kesadaran manusia untuk melindungi dan melestarikan lingkungan agar mereka bisa melanjutkan kehidupan. 

Pilihan seniman membuat karya lukis dan instalasai berbasis bahan yang tersedia di kawasan juga menguntungkan karena bisa menyiasati mahalnya harganya bahan untuk membuat karya. Selain itu, mereka dengan mudah memasukkan pandangan ekologis ke masyarakat melalui karya yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, masyarakat diajak untuk memahami permasalahan lingkungan dan dampak negatifnya terhadap kehidupan manusia melalui karya seni.

MEMAHAMI SENI EKOLOGIS & FUNGSI STRATEGISNYA

Dalam pemahaman sederhana, seni ekologis merupakan aktivitas seni yang dimulai sebagai respons terhadap krisis lingkungan global. Kesenian ini memadukan seni estetis, informatif dan edukatif yang berupaya untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya lingkungan dan keterlibatan masyarakat dalam restorasi lingkungan.

Lipton dan Watts (2004) menjelaskan bahwa seni ekologis merupakan proses kreatif untuk menanggapi bermacam kerusakan ekologis di belahan bumi ini, mendidik masyarakat terkait isu-isu lingkungan dan alternatif solusinya, menumbuhkan respek terhadap lingkungan alam.

Dalam perkembangan awalnya, bentuk seni ekologis berupa seni instalasi di sebuah kawasan. Maczak (2002) mencatat bahwa salah satu trend yang berkembang sampai dengan akhir abad ke-20 adalah seni instalasi (seni yang menggabungkan bermacam genre, seperti lukis, patung, pahat, dan lain-lain) yang digelar di galeri, museum, ataupun langsung ke wilayah dengan tujuan memberikan edukasi kepada publik tentang pentingnya peran alam dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kreativitas estetik.

Seni ekologis berbahan botol plastik. Dok. ecofriend.org
Seni ekologis berbahan botol plastik. Dok. ecofriend.org

Terlepas dari pilihan bentuk yang dipilih seniman, seni ekologis, menurut Wallen (2003), berusaha untuk terus mengkomunikasikan prinsip-prinsip ekologis yang bisa hadir dalam bermacam media dengan tujuan memberikan pesan bahwa lingkungan tempat manusia tinggal beserta isinya tengah mengalami krisis.

Dalam perkembangannya, seni ekologis tidak hanya membatasi diri dalam bentuk seni instalasi di kawasan yang lingkungan alamnya rusak. Seni ekologis bisa kita temui dalam bentuk seperti seni patung, seni lukis, fotografi, seni video, film, sajian musikal, instalasi lingkungan, puisi, tari, dan masih banyak yang lain, termasuk dalam bentuk campuran bermacam bentuk seni.

Apa yang menarik dari seni ekologis adalah tujuannya untuk membangun kesadaran komunitas atau masyarakat untuk terus menghidupkan kehidupan, tidak hanya dengan kerja-kerja teknis, tetapi juga melalui karya estetik yang bisa menghibur sekaligus mengajak untuk terus berbuat sesuatu demi keberlanjutan lingkungan. 

Ini sekaligus menegaskan komitmen politis para seniman untuk terus memperjuangkan isu-isu kerusakan ekologis dan mengajak publik mengawal bermacam permasalahan ekologis yang disebabkan ulah penguasa, pemodal, dan pihak-pihak lain. Dalam pemahaman tersebut, seni ekologis merupakan karya kreatif yang melibatkan tidak hanya seniman tetapi juga bisa warga komunitas serta para pakar dari bidang biologi, geologi, arsitektur, teknik sipil, dan lain-lain. 

Keterlibatan komunitas bisa membawa implikasi positif yakni para seniman bisa menyebarluaskan gagasan edukatif, memromosikan kesadaran ekologis dan menanamkan nilai-nilai konsevasi kepada generasi penerus melalui aktivitas yang menyenangkan (Song, 2009; Jacobson, Mcduff, & Monroe, 2007; Wilson, 2010; Bullot, 2014; Inwood, 2008).

Dalam kerangka demikian, para seniman dalam komunitas melalui penciptaan karya yang mereka lakukan bisa terlibat langsung dengan pendidikan ekologis. Signifikansi peran tersebut mendorong pemerintah di banyak negara mengintegrasikan karya seniman dalam aktivitas komunitas dengan program dan kebijakan pemerintah, selain pelibatan mereka dalam agenda kampanye ekologis (Hartley, 2009; Moore & Tickle, 2014). 

Seni ekologis dalam bentuk instalasi berbahan ranting karya Jaako Pernu. Dok. ecofriend.org
Seni ekologis dalam bentuk instalasi berbahan ranting karya Jaako Pernu. Dok. ecofriend.org

Semua ini menunjukkan kesadaran global ini untuk terus mengintegrasikan kerja-kerja kebudayaan dengan kesadaran ekologis. Kesenian atau even kultural dipilih karena penyampaian pesan-pesan penting terkait kerusakan lingkungan dan pentingnya kesadaran konservasi bisa lebih mengena karena warga masyarakat tidak menerima pesan secara dogmatik.

Menurut hasil riset Jacobson, Mcduff, & Monroe (2007), seni memiliki beberapa peran strategis dalam mempromosikan konservasi. Pertama, seni pertunjukan, termasuk drama dan musik, bisa meningkatkan respons emosional individu terhadap permasalahan partikular, sehingga sangat sesuai digunakan untuk mengkampanyekan kesadaran ekologis bagi kalangan terpelajar. 

Kedua, karya sastra tentang lingkungan bisa membangkitkan perasaan dan kekaguman terhadap tempat yang secara psikis akan memunculkan sikap empati pembaca terhadap alam. Ketiga, seni rupa bisa memancing minat penikmat baru, khususnya untuk memberikan tafsir estetik dan makna dari objek lukisan yang darinya akan terbangun dialog dengan objek lukisan. 

Dari proses dialog inilah akan muncul sikap dan pandangan konstruktif terhadap pentingnya keberlanjutan alam. Pengaruh psikis ini akan menjadikan penonton dalam kehidupan sehari-hari mereka berkomitmen untuk membuat perubahan yang berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan (Wilson, 2010; Bullot, 2014).

Skycraper oleh Studiocka Brooklyn, paus berbahan benda plastik. Dok. www.thesculpturepark.com
Skycraper oleh Studiocka Brooklyn, paus berbahan benda plastik. Dok. www.thesculpturepark.com
Pendidikan seni ekologis merupakan alternatif lain yang bisa dilakukan dalam memberikan penyadaran akan pentingnya posisi manusia di tengah-tengah krisis lingkungan global saat ini. Tentu saja, pendidikan tidak hanya diselenggarakan oleh institusi formal, tetapi juga non-formal seperti komunitas atau kelompok seni yang berada langsung di tengah masyarakat. 

Yang terpenting, menurut Inwood (2008), adalah bahwa pendidikan seni ekologis harus mengintegrasikan aspek edukasi dengan pendidikan lingkungan sebagai sarana untuk mengembangkan dan memperkuat kesadaran dan hubungan dengan konsep dan isu lingkungan. 

Di sinilah dituntut adanya inovasi-inovasi pembelajaran yang tidak hanya berada di ruang kelas. Lebih dari itu, para seniman dalam komunitas melalui penciptaan karya yang mereka lakukan bisa terlibat langsung dengan pendidikan ekologis. Komunitas seni, misalnya, bisa membuat karya-karya inovatif yang menarik perhatian warga, khususnya generasi muda, sembari mengangkat isu-isu lingkungan dalam karya mereka.

Untuk memperkuat peran para seniman dan karya-karya mereka dalam aktivitas ekologis, di beberapa negara maju Eropa seperti Inggris, integrasi dengan program dan kebijakan pemerintah juga dilakukan, selain meminta pendapat publik melalui survei atau kuisioner (Hartley, 2009). Bahkan, selama dua tahun terakhir, kesadaran untuk melibatkan kesenian dalam mengkampanyekan kesadaran ekologis juga sudah dilakukan di banyak negara Asia, Afrika, Amerika Latin, Eropa, dan Amerika Serikat (Moore & Tickle, 2014). 

Semua ini menunjukkan bahwa keterlibatan seniman dalam dimensi yang lebih luas, khususnya krisis ekologis, bukanlah sesuatu yang aneh. Kesadaran global ini merupakan sebuah spirit untuk terus mengintegrasikan kehidupan dan kebudayaan dengan kesadaran akan kekuatan alam. 

BERMACAM BENTUK SENI EKOLOGIS DI INDONESIA

Meskipun kita tidak mendapatkan nama resmi seni ekologis dari budaya masyarakat Indonesia, bukan berarti kita tidak bisa menemukan jejak historis aktivitas seni atau kultural yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, merespons lingkungan. Lukisan-lukisan purba yang ditemukan di kawasan Indonesia menunjukkan keterikatan imajinatif manusia dulu dengan kondisi alam lingkungan dan semesta tempat mereka hidup.

Selain itu, banyak masyarakat di nusantara yang memiliki ritual yang menunjukkan relasi harmonis dengan alam lingkungan dan semesta. Dalam banyak mantra, sesajen, dan praktik ritual, kemenyatuan mikrokosmos dan makrokosmos diutamakan.

Kesenian mereka juga bersumber dari kekayaan alam yang sudah dipersiapkan mekanisme pelestariannya. Angklung, di Banyuwangi Jawa Timur, Bali, dan Jawa Barat, misalnya, terbuat dari bambu yang untuk menebangnya masyarakat memiliki pengetahuan tentang hari-hari tertentu yang diperbolehkan dan dilarang.

Cerita-cerita tentang pohon besar yang berpenunggu makhluk ghaib menyebar rata di wilayah Indonesia. Kalau kita perhatikan cerita tersebut memiliki tujuan konservatif. Mengapa demikian? Pohon besar, seperti beringin, memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan air sebagai sumber. Ketersediaan air tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Itulah mengapa dibuat cerita yang menjadikan warga tidak berani menebang pohon besar. 

Weden-wedenan sawah di Ponorogo. Dok. Nanang Diyanto via Kompasiana.com
Weden-wedenan sawah di Ponorogo. Dok. Nanang Diyanto via Kompasiana.com
"Weden-wedenan", "den-denan" atau "orang-orangan" di sawah menjadi bentuk karya kreatif yang bernilai guna bagi petani. Begitupula "kiling", baling-baling berukuran besar terbuat dari kayu yang ditempatkan di sawah di kawasan Aliyan Banyuwangi, selain menjadi karya artistik, juga bisa bermanfaat untuk mengacaukan hama yang akan mengganggu sawah.

Dengan demikian, secara kultural masyarakat Indonesia sejatinya memiliki keyakinan, tatanan, dan praktik yang saat ini dianggap sebagai kesadaran ekologis. Mereka juga memiliki kesadaran untuk menghindari krisis lingkungan seperti ditanggapi oleh para seniman ekologis. Masyarakat juga memiliki tradisi dan kesenian yang bernilai guna untuk kelestarian lingkungan. Dengan kata lain, model kesenian ekologis sejatinya sudah punya modal kuat di masyarakat kita.

Maka, kalau kemudian gagasan kesenian ekologis digiatkan di Indonesia, tentu bukanlah sesuatu yang susah. Menimbang bermacam permasalahan ekologis serius akibat pertambangan, pembukaan perkebunan berskala besar, pembangunan resort yang tidak ramah lingkungan, dan aktivitas lainnya, perlu kiranya semakin banyak seniman yang menciptakan karya di wilayah-wilayah rentan permasalahan lingkungan.

Tentu bentuknya tidak harus sama dengan yang dikembangkan oleh para seniman luar negeri. Para seniman Indonesia memiliki sumber kreatif yang cukup kaya di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang bergerak dalam seni modern seperti seni rupa, seni instalasi, musik, film, video, dan yang lain, misalnya, bisa membuat karya-karya yang mengusung isu-isu permasalahan lingkungan. Sementara, para seniman rakyat bisa membuat karya pertunjukan di lokasi-lokasi tertentu untuk menjalankan pedagogi publik.

Di Bali, misalnya, berbasis komitmen politisnya untuk mengkritisi kebijakan negara dan mengajak masyarakat menanggapi permasalahan lingkungann akibat proyek eksploitatif dalam bidang pariwisata (Wibowo, 2017). Bali Tolak Reklamasi sebagai gerakan publik yang risau dengan proyek pemerintah mendorong para seniman seperti Alit Ambara menyiapkan desain poster untuk kampanye publik.

Made Bayak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali). Dok. Dwi S. Wibowo
Made Bayak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali). Dok. Dwi S. Wibowo
Selain itu, Made Bayak menggagas seni ekologis, Plasticology (plastic and ecology) karena semakin berbahayanya plastik bagi lingkungan dan masyarakat Bali. Bayak tidak hanya berkarya, tetapi juga membuat workshop untuk anak-anak agar sejak usia dini mereka bijak dalam menggunakan plastik. Bayak menggunakan plastik untuk media membuat karya rupa, sehingga masyarakat memiliki kesadaran agar tidak mudah membuang plastik ke alam. Mereka bisa memanfaatkannya untuk membuat karya yang bagus sekaligus edukatif.   

Masih di Bali, terkait banyaknya lahan produktif yang digunakan untuk kepentingan pariwisata seperti pembangunan resort dan hotel, seniman Gede Suanda Sayur membuat karya instalasi berupa tulisan "Not For Sale" di lahan milik keluarganya. Hal itu menegaskan sikap ekologis untuk melawan semakin berkurangnya lahan pertanian di Bali akibat massifnya penggunaan lahan produktif, khususnya lahan pertanian, untuk kegiatan pariwisata yang dikelola para pemodal besar nasional dan internasional.

I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale. Dok. Senidiharilibur.com.
I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale. Dok. Senidiharilibur.com.
Dari apa yang dilakukan oleh Made Bayak dan Gede Suanda Sayur kita bisa melihat bahwa seni ekologis menjadi tanggapan kreatif-kritis-pedagogis seniman terhadap kerusakan lingkungan akibat industri pariwisata berskala besar. Kesejahteraan sebagai janji industri pariwisata, nyatanya, memunculkan potensi rusaknya lingkungan Bali. Maka, seni ekologis menjadi pilihan untuk melakukan gerakan dan pedagogi berorientasi kritis dan kreatif untuk menumbuhkan kesadaran mendalam manusia terhadap kawasan tempat mereka hidup.

Tidak hanya berupa karya intalasi dan lukis, di Indonesia kita juga menjumpai seni ekologis yang langsung ditujukan sebagai pembelaan terhadap ruang hidup masyarakat lokal di tengah-tengah ekspansi pemodal dan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka. Artinya, karya seni yang mereka buat memang tidak dimaksudkan sebagai hiburan, tetapi langsung diposisikan sebagai resistensi terhadap kekuatan dominan dan ditujukan secara langsung kepada ketidakberpihakan penguasa.

Para perempuan Pegunungan Kendeng, sesaat sebelum menyemen kaki mereka. Dok. Sapariah Saturi via Mongabay.com
Para perempuan Pegunungan Kendeng, sesaat sebelum menyemen kaki mereka. Dok. Sapariah Saturi via Mongabay.com

Salah satunya yang cukup menghentak kesadaran dan nurani bangsa ini adalah keberanian perempuan dari kawasan pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Pada 12 April 2016, di depan Istana Negara, Jakarta, sembilan ibu Kendeng dengan gagah berani melakukan aksi menyemen kaki mereka sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan pabrik semen di kawasan pegunungan karst Kendeng yang menyimpan cadangan air.

Memang, para ibu Kendeng bisa jadi tidak mengatakan tindakan mereka sebagai bentuk seni dalam artian hiburan, tetapi karya kultural terlibat, yakni ditujukan untuk melawan secara langsung tindakan kelompok dominan, dalam hal ini pemerintah dan BUMN yang semena-mena melakukan aktivitas produksi semen.

Kaki yang di-semen menandakan sulitnya kehidupan para petani ketika kawasan pegunungan Kendeng yang menyediakan air untuk pertanian ditambang. Warga Kendeng yang telah memenangkan gugatan di pengadilan berharap Presiden Joko Widodo bisa memahami keinginan warga yang ingin ruang hidup mereka tetap terjada dan lestari.

Meskipun sampai sekarang keinginan warga tidak dipenuhi pemerintah dan pabrik Semen Indonesia terus beroperasi di kawasan Kendeng, perjuangan para ibu tersebut akan terus dicatat oleh sejarah bangsa ini dan dikenang masyarakat dunia yang bersolidaritas untuk kelestarian lingkungan dan keberlanjutan peradaban manusia di muka bumi. Aksi kultural-heroik tersebut bisa menjadi inspirasi dan menggerakkan ragam karya kultural untuk melawan kerakusan penguasa.

Selain bentuk-bentuk di atas, para seniman yang biasa berkarya melalui tari, musik, dan pertunjukan rakyat ataupun para penggiat seni pelajar dan mahasiswa juga bisa menciptakan karya seni ekologis di daerah masing-masing. Bisa juga berupa event kultural kolaboratif yang menggabungkan ritual, pertunjukan seni, pasar rakyat, dan yang lain.

Ritual di sendang dalam Upacara Kebo Ketan. Dok. Kraton Ngiyom.
Ritual di sendang dalam Upacara Kebo Ketan. Dok. Kraton Ngiyom.
Di Desa Sekarlaras dan Desa Sekarputih, Ngawi, Jawa Timur, warga masyarakat bersama LSM Keraton Ngiyom menjalankan Upacara Kebo Ketan. Menurut Prijosusilo (2017), Kebo Ketan merupakan event multbentuk yang menggabungkan ritual dengan ragam pertunjukan seni, kuliner, dan yang lain. Berawal dari cerita tentang Kodok Ibnu Sukodok kawin dengan Peri Setyowati. Perlu diketahui Peri Setyowati adalah penjaga hutan dan mata-air di hutan Begal, yakni Sendang Marga dan Sendang Ngiyom. 

Di balik perkawinan ini bukanlah hubungan seksual, tetapi sebuah kepentingan agar kodok membantu Setyowati menanami-kembali kawasan hutan yang pohon-pohon besarnya habis akibat penjarahan di era Reformasi. Bisa dikatakan mitos yang dikembangkan bertujuan penyelamatan budaya dan ekologi di Jawa khususnya di hutan Begal, Ngawi. Kolaborasi ritual dan pertunjukan seni diharapkan bisa memperkuat kohesi sosial. 

Kerbau yang akan diarak dalam Upacara Kebo Ketan. Dok. Tangtungan Project.
Kerbau yang akan diarak dalam Upacara Kebo Ketan. Dok. Tangtungan Project.
Ritual di laksanakan di sendang di tengah hutan sebagai perwujudan kemenyatuan manusia, budaya, dan alam serta kekuatan adikodrati. Selain itu, juga dilakuan performance dalam bentuk tari kontemporer dan gerak teater di bawah pohon besar. Tidak lupa, kerbau buatan yang cukup besar juga diarak bersama kesenian rakyat. Kerbau dalam tradisi masyarakat agraris merupakan binatang ternak yang sangat membantu kerja-kerja pertanian. 

Unutk memeriahkan acara, dalam even ini, bermacam kesenian seperti wayang kulit, musik religi, musik kontemporer, dan kesenian rakyat digelar di tengah-tengah masyarakat demi mempermudah berkumpulnya mereka sehingga mereka bisa bergembira sembari mengembangkan semangat untuk melestarikan hutan. 

Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) bersama para penggiat seni rakyat di Jember, misalnya, pada tahun 2017 dan 2018 menggelar event Bhakti Bhumi Gunung Mayang di kawasan Mumbulsari. Para seniman rakyat berkolaborasi dengan para pelajar menciptakan even pertunjukan publik yang menceritakan tentang krisis ekologis dan bagaimana semestinya manusia menyikapinya secara bijak. 

Pada gelaran Bhakti Bhumi Gunung Mayang tahun 2018, misalnya, diceritakan kaum remaja dan warga desa yang berusaha keras menjaga kelestarian hutan. Namun, terdapat pihak-pihak yang ingin mengeksploitasinya secara rakus. Kaum remaja dan warga desa bekerjasama untuk mengusir para perusak.


Dengan latar kawasan Gunung Mayang yang banyak beralih fungsi untuk pertanian dan kurang adanya penanaman pohon kembali, para penggiat seni mengajak masyarakat dan instansi terkait di Jember untuk terus memperbaiki kepedulian terhadap semakin berkurangnya kawasan hutan. Untuk menciptakan suasana sakral, panitia juga menghadirkan ritual gunungan berupa buah dan sayur-mayur sebagai wujud syukur dan komitmen untuk terus menjaga bumi.

Pada tahun 2021, DeKaJe kembali menggelar pertunjukan publik terbatas di kawasan rumpun bambu yang tidak jauh dari kota. Para penari sanggar bekerjasama dengan musisi glundengan (semacam gamelan terbuat dari kayu nangka atau sejenis) dan seniman mamaca (macapat dalam bahasa Madura) menggelar Rokat Bambu. 


Even ini merupakan karya kolaboratif yang bertujuan mengajak masyarakat untuk selalu menanam dan merawat bambu. Dengan karya tari dan musikal di bawah rumpun bambu, masyarakat diajak langsung untuk merasakan atmosfer pertunjukan sembari menikmati segarnya rumpun bambu.

TERUS MENCIPTAKAN SENI EKOLOGIS

Permasalahan serius yang dihadapi masyarakat bumi adalah krisis ekologis dengan bermacam istilahnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, masyarakat harus terus mendorong pemerintah untuk terlibat secara aktif melalui kebijakan dan program yang berorientasi untuk penyelamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Masyarakat pun harus terus bekerjasama untuk melakukan tindakan nyata untuk berpartisipasi dalam merawat lingkungan yang sejatinya sama dengan merawat kehidupan mereka sendiri. 

Para pelaku seni dengan kedalaman imajinasi bisa terus berjuang melalui keterlibatan kreatif untuk merespons permasalahan lingkungan di wilayah masing-masing. Selain itu, mereka bisa mengembangkan kesadaran kritis dan kreatif terhadap kekuatan-kekuatan dominan yang ingin merusak lingkungan melalui dalih investasi.

Dengan menggunakan ragam kesenian yang sudah ada di masyarakat atau membuat karya baru, para seniman merupakan intelektual terlibat yang bisa menjadi kekuatan tanding dan resisten terhadap usaha manusia-manusia rakus yang merusak ruang hidup dan lingkungan alam.Di Indonesia sendiri, seni ekologis sangat beragam. Bisa berupa seni rupa, seni instalasi, pertunjukan kolaboratif, musik, drama, puisi, dan lain-lain. 

Ke depannya, kreativitas seni ekologis mesti ditingkatkan agar masyarakat bisa menikmati karya estetik sekaligus belajar menghormati dan mencintai lingkungan hidup. Para seniman bisa melakukan observasi tentang ragam seni dan permasalahan lingkungan sebagai dasar penciptaan. 

Kolaborasi seniman dengan masyarakat dan pihak-pihak yang peduli penyelamatan dan pelestarian lingkungan perlu ditingkatkan untuk lebih menggemakan dampak karya mereka.

Tidak lupa, jumlah seni ekologis juga harus diperbanyak agar menjadi gerakan bersama untuk mengkritisi penguasa dan pemodal yang sering bertindak rakus dalam aktivitas pertambangan, perkebunan, dan proyek pembangunan. Masyarakat memiliki hak untuk

Semakin banyak seni ekologis yang diberitakan media, maka akan berkembang wacana di tengah publik tentang pentingnya melestarikan lingkungan serta melawan hasrat rakus untuk mengeksploitasi alam. Untuk itu, pendekatan dan negosiasi dengan media mutlak dibutuhkan para seniman atau panitia even seni ekologis. Karena bagaimanapun juga, media ikut bertanggung jawab untuk terus menyebarkan pentingnya melestarikan lingkungan sekaligus mengkritisi tingkah rakus pihak-pihak yang eksploitatif.

DAFTAR BACAAN

Bullot, Nicolas J. 2014. “The Functions of Environmental Art”. Dalam Jurnal LEONARDO, Vol. 47, No. 5, hlm. 511–512.

Carruthers, Beth. 2006. Art in Ecology: A Think Tank on Arts and Sustainability. Canada: The Canadian Commission for UNESCO.

Hartley, J. 2009. “Arts and ecological sustainability’, D’Art Topics in Arts Policy, No. 34. Sydney: International Federation of Arts Councils and Culture Agencies.

Inwood, Hilary. 2008. “Mapping Eco-Art Education”. Dalam Canadian Review of Art Education, Vol. 35, hlm. 57-72.

Jacobson, Susan K., Mallory D. Mcduff, and Martha C. Monroe. 2007. “Promoting Conservation through the Arts: Outreach for Hearts and Minds”. Dalam Jurnal Conservation Biology, Vol. 21, No. 1, hlm. 7-10.

Lipton, Amy and Tricia Watts. 2004. Ecological Aesthetics, Art in Environmental Design: Theory and Practice. Basel: Birkhäuser Publishers.

Mańczak, Aleksandra. 2002. “The Ecological Imperative: Elements of Nature in Late Twentieth-Century Art”. Dalam Jurnal LEONARDO, Vol. 35, No. 2, hlm. 131–136.

Moore, S & Tickell, A 2014 ‘The arts and environmental sustainability: an international overview”, D’Art Topics in Arts Policy, No. 34b. Sydney: Julie’s Bicycle and the International Federation of Arts Councils and Culture Agencies.

Prijosusilo, Brahmantyo. 2017. "Apa Itu Upacara Kebo Ketan di Ngawi?". https://kumparan.com/bramantyo-prijosusilo/apa-itu-upacara-kebo-ketan-di-ngawi-1509151215343/full.

Song, Young Imm Kang. 2009. “Community Participatory Ecological Art and Education”. Dalam Jurnal JADE, Vol. 28, No. 1, hlm. 4-13.

Wallen, Ruth. 2003. “Of Story and Place: Communicating Ecological Principles through Art”. Dalam Jurnal LEONARDO, Vol. 36, No. 3, hlm. 179–185.

Wibowo, D.S. 2017. "Isu Ekologi dalam Praktik Seni Rupa di Bali." https://sarasvati.co.id/kolom/11/isu-ekologi/.

Wilson, Claire (ed). 2010. Arts. Environment. Sustainability. How Can Culture Make a Difference?. Singapura: Asia-Europe Foundation. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun