Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Ekologis: Krisis Lingkungan dalam Tatapan Kreatif Seniman

19 Februari 2022   11:33 Diperbarui: 27 Februari 2022   12:56 2204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni ekologis dalam bentuk instalasi berbahan ranting karya Jaako Pernu. Dok. ecofriend.org

Maka, kalau kemudian gagasan kesenian ekologis digiatkan di Indonesia, tentu bukanlah sesuatu yang susah. Menimbang bermacam permasalahan ekologis serius akibat pertambangan, pembukaan perkebunan berskala besar, pembangunan resort yang tidak ramah lingkungan, dan aktivitas lainnya, perlu kiranya semakin banyak seniman yang menciptakan karya di wilayah-wilayah rentan permasalahan lingkungan.

Tentu bentuknya tidak harus sama dengan yang dikembangkan oleh para seniman luar negeri. Para seniman Indonesia memiliki sumber kreatif yang cukup kaya di tengah-tengah masyarakat. Mereka yang bergerak dalam seni modern seperti seni rupa, seni instalasi, musik, film, video, dan yang lain, misalnya, bisa membuat karya-karya yang mengusung isu-isu permasalahan lingkungan. Sementara, para seniman rakyat bisa membuat karya pertunjukan di lokasi-lokasi tertentu untuk menjalankan pedagogi publik.

Di Bali, misalnya, berbasis komitmen politisnya untuk mengkritisi kebijakan negara dan mengajak masyarakat menanggapi permasalahan lingkungann akibat proyek eksploitatif dalam bidang pariwisata (Wibowo, 2017). Bali Tolak Reklamasi sebagai gerakan publik yang risau dengan proyek pemerintah mendorong para seniman seperti Alit Ambara menyiapkan desain poster untuk kampanye publik.

Made Bayak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali). Dok. Dwi S. Wibowo
Made Bayak, Secret dance of virgin (seri rekonstruksi eksotisme Bali). Dok. Dwi S. Wibowo
Selain itu, Made Bayak menggagas seni ekologis, Plasticology (plastic and ecology) karena semakin berbahayanya plastik bagi lingkungan dan masyarakat Bali. Bayak tidak hanya berkarya, tetapi juga membuat workshop untuk anak-anak agar sejak usia dini mereka bijak dalam menggunakan plastik. Bayak menggunakan plastik untuk media membuat karya rupa, sehingga masyarakat memiliki kesadaran agar tidak mudah membuang plastik ke alam. Mereka bisa memanfaatkannya untuk membuat karya yang bagus sekaligus edukatif.   

Masih di Bali, terkait banyaknya lahan produktif yang digunakan untuk kepentingan pariwisata seperti pembangunan resort dan hotel, seniman Gede Suanda Sayur membuat karya instalasi berupa tulisan "Not For Sale" di lahan milik keluarganya. Hal itu menegaskan sikap ekologis untuk melawan semakin berkurangnya lahan pertanian di Bali akibat massifnya penggunaan lahan produktif, khususnya lahan pertanian, untuk kegiatan pariwisata yang dikelola para pemodal besar nasional dan internasional.

I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale. Dok. Senidiharilibur.com.
I Gede Suanda Sayur, Instalasi Not for Sale. Dok. Senidiharilibur.com.
Dari apa yang dilakukan oleh Made Bayak dan Gede Suanda Sayur kita bisa melihat bahwa seni ekologis menjadi tanggapan kreatif-kritis-pedagogis seniman terhadap kerusakan lingkungan akibat industri pariwisata berskala besar. Kesejahteraan sebagai janji industri pariwisata, nyatanya, memunculkan potensi rusaknya lingkungan Bali. Maka, seni ekologis menjadi pilihan untuk melakukan gerakan dan pedagogi berorientasi kritis dan kreatif untuk menumbuhkan kesadaran mendalam manusia terhadap kawasan tempat mereka hidup.

Tidak hanya berupa karya intalasi dan lukis, di Indonesia kita juga menjumpai seni ekologis yang langsung ditujukan sebagai pembelaan terhadap ruang hidup masyarakat lokal di tengah-tengah ekspansi pemodal dan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka. Artinya, karya seni yang mereka buat memang tidak dimaksudkan sebagai hiburan, tetapi langsung diposisikan sebagai resistensi terhadap kekuatan dominan dan ditujukan secara langsung kepada ketidakberpihakan penguasa.

Para perempuan Pegunungan Kendeng, sesaat sebelum menyemen kaki mereka. Dok. Sapariah Saturi via Mongabay.com
Para perempuan Pegunungan Kendeng, sesaat sebelum menyemen kaki mereka. Dok. Sapariah Saturi via Mongabay.com

Salah satunya yang cukup menghentak kesadaran dan nurani bangsa ini adalah keberanian perempuan dari kawasan pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Pada 12 April 2016, di depan Istana Negara, Jakarta, sembilan ibu Kendeng dengan gagah berani melakukan aksi menyemen kaki mereka sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan pabrik semen di kawasan pegunungan karst Kendeng yang menyimpan cadangan air.

Memang, para ibu Kendeng bisa jadi tidak mengatakan tindakan mereka sebagai bentuk seni dalam artian hiburan, tetapi karya kultural terlibat, yakni ditujukan untuk melawan secara langsung tindakan kelompok dominan, dalam hal ini pemerintah dan BUMN yang semena-mena melakukan aktivitas produksi semen.

Kaki yang di-semen menandakan sulitnya kehidupan para petani ketika kawasan pegunungan Kendeng yang menyediakan air untuk pertanian ditambang. Warga Kendeng yang telah memenangkan gugatan di pengadilan berharap Presiden Joko Widodo bisa memahami keinginan warga yang ingin ruang hidup mereka tetap terjada dan lestari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun