Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pengetahuan Ekologis Tradisional: Konsep Strategis, Masalah, dan Tantangan

8 Februari 2022   14:52 Diperbarui: 19 Februari 2022   13:54 2197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelima, PET sebagai penentu identitas budaya. Konsep ini berkaitan erat dengan bagaimana komunitas menempatkan PET sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya yang mengikat kehidupan mereka bersama. Pemahaman tentang tanah sebagai penentu kehidupan dan kebudayaan, misalnya, menyebarluas di mayoritas bangsa-bangsa di dunia. 

Ketika kawasan yang ditempati sebuah komunitas hilang akibat proses eksploitasi ataupun bencana, misalnya, maka budaya masyarakat pun akan punah.

Dalam kasus lumpus Lapindo, misalnya, warga desa terdampak harus pindah dari tanah tempat hidup mereka. Kalaupun mereka sudah pindah ke kawasan perumahan, budaya sehari-hari mereka jelas ikut berubah.

Pengetahuan ini memahami cerita, nilai, dan hubungan sosial yang ada di wilayah tertentu sebagai kontribusi untuk kelangsungan hidup, reproduksi, dan evolusi budaya serta identitas asli. Ini menekankan manfaat restoratif dari lanskap budaya sebagai tempat untuk pembaruan spiritual. Itulah mengapa orang Jawa memiliki keyakinan sadumuk bathuk sanyari bhumi. 

Maksudnya, tanah itu menentukan kehidupan manusia, sehingga meskipun hanya selebar dahi manusia, tanah harus dipertahankan. Tidak hanya dalam hal ukuran, tetapi juga dalam hal peran penting tanah untuk melanjutkan kehidupan manusia dan semua budayanya. Pemahaman ini juga menegaskan bahwa PET, sesederhana apapun, tidak bisa dilepaskan dari identitas sebuah masyarakat.

Meskipun demikian, beragam pengaruh modernitas dan program pembangunan ikut mengubah cara pandang manusia terhadap kemenyatuan tersebut.

Dulu warga Tengger, misalnya, tidak mau menjual tanah kepada warga luar. Mengapa? Karena tanah berlahan datar yang bisa dijadikan kawasan pemukiman dan pertanian jumlahnya terbatas, sehingga sangat menentukan kehidupan dan tradisi mereka. 

Ketika tanah itu diberikan ke orang luar, maka akses ekonomi dan jalannya kehidupan akan mendapatkan pengaruh dari budaya lain. Namun, di tengah gencarnya industri perhotelan sebagai konsekuensi logis pariwisata Bromo, mulai banyak lahan yang dikuasai oleh pemodal swasta. 

Selain itu, warga Tengger juga harus rela tanah yang mereka tempati dan manfaatkan sedari manusia pertama hidup di kawasan ini harus berada dalam kekuasaan negara.

Perubahan tersebut tentu mengikis makna dan keyakinan terhadap kepemilikan tanah yang pada gilirannya bisa memutuskan koneksi kultural dalam hal lingkungan dari satu generasi ke generasi lain. Akibatnya, keutuhan budaya adat mulai retak.

Produksi dan mobilisasi PET sebagai bagian integral identitas budaya di tengah hasrat dan praktik eksploitasi massif tanah dan sumberdaya alam bisa memberikan energi besar terhadap komunitas adat atau warga lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun