Sebagai pendidik sekaligus orang tua dan warga negara, saya seringkali merasa sedih, melihat masih banyaknya ketidakadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi memasukkan nilai-nilai Pancasila dalam proses pembelajaran. Salah satu sila yang mendapatkan perhatian lebih adalah "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."
Sila ini menjadi acuan untuk seluruh penyelenggara dan warga Republik ini untuk terus dan selalu melakukan tindakan adil, baik dalam lingkup keluarga, komunitas/masyarakat, maupun bangsa. Keadilan mensyaratkan kesetaraan bagi semua warga negara, tanpa memandang kekayaan dan jabatan. Seandainya keadilan bisa terwujud, maka kehidupan bermasyarakat dan berbangsa bisa berjalan sesuai dengan dicita-citakan oleh kita semua.Â
Dalam setiap kesempatan menemani belajar anak-anak, saya dan istri juga harus memberikan contoh-contoh sederhana tentang pengamalan Pancasila agar mereka bisa memahami dan, akhirnya, mau menjalaninya dalam kehidupan sehari-hari. Kami meyakini, kelima sila Pancasila memiliki nilai dan ajaran yang sangat positif dan bermanfaat bagi kehidupan anak-anak kami sebagai generasi penerus.
Demikian pula ketika mengajar tema dinamika sosial dan budaya, isu-isu ketidakadilan menjadi bahasan agar mahasiswa bisa memahami dan diharapkan mau menjalankan perjuangan untuk ikut berkontribusi dalam menghadirkan keadilan, utamanya untuk warga negara yang selama ini kurang beruntung dalam proses bernegara.
Namun, ketika masih banyak aparat negara berbuat tidak adil dalam menangani persoalan dalam masyarakat, bukankah itu menjadi titik balik yang menghancurkan idealisasi pendidikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa di Republik ini. Tidak hanya kasus-kasus besar terkait konflik lahan antara rakyat dengan pemerintah dan swasta dan konflik pertambangan, tetapi juga kasus-kasus kecil yang sering mengemuka ke publik dan mengusik rasa keadailan.
Contoh terakhir yang sedang trending di media sosial dan melukai cita-cita luhur tersebut adalah pelanggaran konvoi mobil mewah di toll Andara di mana polisi hanya memberikan teguran dan arahan karena pemilik mobil kooperatif dan mengakui kesalahan (https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/25/08101671/konvoi-mobil-mewah-berkendara-pelan-dan-ambil-dokumentasi-di-tol-tak?page=all).Â
KESALAHAN KONVOI MOBIL MEWAH
Tentu, konvoi mobil mewah tidak salah. Artinya, mereka yang bisa membeli mobil mewah juga berhak berkonvoi, sepertihalnya pemilik motor melakukan touring dari satu kota ke kota lain. Namun, ketika terjadi pelanggaran, sudah seharusnya aparat yang berwenang melakukan tindakan sesuai dengan perundang-undangan atau peraturan yang berlaku.Â
Meskipun sempat menolak tuduhan bahwa mereka melanggar aturan lalu-lintas, pada akhirnya mereka tidak bisa mengelak. Bahkan, menurut catatan Autofun, mereka melakukan beberapa pelanggaran yang bisa berimplikasi kepada proses hukum kalau memang polisi mau memrosesnya (https://www.autofun.co.id/berita/sempat-menyanggah-ternyata-konvoi-mobil-mewah-yang-distop-polisi-di-tol-andara-terbukti-lakukan-banyak-pelanggaran-40142).Â
Pertama, melanggar batas kecepatan minimum di jalan toll, yakni 60 km/jam. Hal ini berarti melanggar Pasal 21 Ayat 4 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pelanggaran jenis ini, sesuai Pasal 287 Ayat 5, bisa dikenai pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000.Â
Kedua, terdapat beberapa mobil mewah yang dimodifikasi dan tidak dipasangi pelat nomor. Ini adalah kesalahan yang sangat elementer dan sesuai Pasal 280 juga bisa mendapatkan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda maksimal Rp. 500.000.Â
Ketiga, konvoi menggunakan dua lajur, tanpa pengawalan aparat yang berwenang, sehingga mengganggu kelancaran lalu-lintas. Perbuatan ini bisa dikenakan Pasal 287 Ayat 3 dengan pidana kurungan paling lama sebulan atau denda paling banyak Rp. 250.000.Â
Selain itu, terdapat satu mobil dengan kondisi pintu bagasi terbuka. Seseorang tengah mengambil dokumentasi dengan kakinya keluar mobil. Tindakan ini tentu tidak boleh. Selain bisa membahayakan nyawa orang yang ada di dalam mobil, juga menghambat perjalanan mobil lainnya.
Terlepas adanya penyanggahan bukti di atas, memang, kalau kita perhatikan, pelanggaran yang mereka lakukan tergolong tidak terlalu berat. Tentu, bagi orang-orang kaya, denda ratusan ribu bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Namun, berdasarkan identifikasi di atas, kita tetap saja bisa mengatakan telah terjadi pelanggaran dan seharusnya bisa diproses secara hukum.Â
Katakanlah polisi beralasan para pengemudi kooperatif dan memiliki surat-surat lengkap, tetapi permasalahan yang sama dengan tindakan hukum berbeda seringkali menimpa warga lain. Akibatnya, ada rasa keadilan yang terusik dari peristiwa tersebut. Kalau memang polisi berbuat adil, maka ketika semua pihak yang melanggar peraturan lalu-lintas mau kooperatif, mengakui kesalahan, dan memiliki surat-surat yang lengkap, seharusnya tidak ditilang dan hanya diperingatkan.Â
Apakah hal yang sama berlaku bagi mereka? Realitasnya tidak semudah itu. Inilah yang saya katakan sebagai "keadilan yang seringkali dikampanyekan, tetapi seringakli pula dikhianati oleh aparat negara sehingga muncul ketidakdilan di tengah-tengah masyarakat".Â
Seharusnya, polisi tetap menindak pelanggaran yang dilakukan oleh para pengandara yang ikut dalam konvoi mobil mewah. Memang, mereka bisa membayar uang denda sebagai ganti dari penjara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setidaknya, masyarakat disuguhi ketegasan yang akan menjadikan mereka berpikir adanya perspektif yang setara dalam menangani masalah pelanggaran lalu-lintas.
KETIDAKADILAN & KETIDAKPERCAYAAN
Betapa sering pemerintah mengkampanyekan formula keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Betapa sering mereka membuat undang-undang dan peraturan demi tegak dan jalannya urusan-urusan penting dalam kehidupan berbangsa. Namun, seringkali semua itu hanya menjadi idealisasi yang sangat abstrak karena ketika menyentuh lapisan elit masyarakat, orang-orang berduit banyak, aturan menjadi begitu lentur, bisa dimainkan.Â
Peristiwa konvoi mobil mewah ini tentu mengusik rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Jangan salahkan kalau mereka semakin pesimis terhadap prospek keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi masyarakat juga sering membaca berita dan menonton video banyak kasus yang melibatkan rakyat kecil dengan aparat keamanan, dari masalah pembebasan lahan, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain.Â
Mereka juga terlalu sering disuguhi berita proses hukum terhadap orang-orang miskin yang terpaksa mencuri untuk menyambung hidup, warga desa yang berjuang melawan perampasan lahan, dan yang lain. Dalam kasus-kasus itu, aparat penegak hukum begitu cekatan. Namun, dalam kasus para pengemudi mobil mewah mengapa tidak ada ketegasan?
Banyaknya kontradiksi dan ketimpangan dalam penegakan hukum berkontribusi penting terhadap anjloknya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Tentu realitas ini tidak bisa disepelekan karena polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhubungan dengan warga sipil. Ketika masyarakat semakin sering mendapatkan berita tentang kontradiksi dan ketidakadilan, mereka bisa memperbesar ketidakpercayaan terhadap polisi.Â
Kita tentu masih ingat tagar "percuma lapor polisi" yang masih menggema di media sosial akibat perilaku polisi dalam menangangi kasus yang menjadi perhatian publik. Kasus konvoi mobil mewah ini memang tampak remeh-temeh, tetapi sudah bergerak secara luas di media sosial. Jangan pernah meremehkan permasalahan yang ramai di media sosial ataupun media online. Sebagai bentuk media baru, keduanya mampu mengkonstruksi cara pandang publik terhadap ketidakadilan yang terjadi.Â
ABSURDITAS & PENTINGNYA TELADAN
Kalau peristiwa-peristiwa yang mendemonstrasikan ketidakadilan dalam penegakan hukum terus saja berulang di bumi pertiwi, bangsa ini seperti terjebak dalam absurditas kehidupan yang cukup melelahkan. Dan, itu terjadi karena ketidaktegasan aparat negara dalam menindak hal-hal yang sudah jelas harus ditindak.Â
Absurditas merupakan sebuah kondisi konyol dan tidak masuk akal, di mana kejadian yang sama selalu saja terjadi, percakapan yang sama selalu saja dilangsungkan, dan peristiwa yang aneh pun terus diulang. Absurditas menjadikan kita berpikir bahwa kekonyolan dan ke-tidak-masuk-akal-an yang berlangsung dalam praktikbernegara yang sebenarnya sudah diatur melalui sistem perundang-undangan sudah menyentuh kondisi tragis.
Lazimnya, orang bernegara akan mematuhi undang-undang sebagai konstitusi yang mengikat semua warga negara. Pemerintah dengan aparat penegak hukumnya pun menjadi penjamin dari keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang mematuhi sistem perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah pemerintah menggaji polisi dan aparat penegak hukum lainnya. Mereka juga mendapatkan tunjangan untuk memperkuat kinerja profesional.Â
Ketika sebuah kasus menjadikan aparat penegak hukum menjadi cemoohan publik karena ketidakprofesionalan dalam bekerja, semestinya mereka harus instropeksi dan tidak menyebabkan banyak kasus lagi. Semakin banyaknya kasus baru dengan mudah menyulut kemarahan ataupun pesismisme publik. Tentu saja kondisi ini merugikan tatanan bernegara yang sudah mulai membaik.
Kalau kemudian warga negara masih terlalu sering disuguhi ketidakadilan dalam penegakan hukum, maka absurditas demi absurditas akan memenuhi ruang publik dan ruang kehidupan di Republik ini. Pesimisme akan menjadi warna dominan dalam cara berpikir dan bertindak masyarakat terkait penegakan hukum. Tentu saja, kondisi tersebut bisa menyebabkan ketidaksehatan dalam proses bernegara yang menghambat cita-cita bersama sebagai bangsa.Â
Teladan-teladan sederhana, seperti penanganan pelanggaran lalu-lintas yang setara bagi semua warga negara, bisa menjadi cara efektif untuk memupuk kepercayaan warga negara terhadap pemerintah. Semakin banyaknya teladan yang diberikan oleh aparat negara bisa menjadikan warga menumbuhkan optimisme di tengah-tengah kompleksitas masalah ekonomi dan politik yang berlangsung.Â
Dengan teladan yang disuguhkan secara baik dan bijak, bangsa ini perlahan tapi pasti bisa meretas jalan untuk menjadi bangsa yang besar dan maju. Namun, ketika aparat negara semakin sering menghadirkan tindakan yang menunjukkan ketidakadilan, maka bangsa besar yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain itu hanya menjadi pemanis bibir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H