Bagi yang pernah menonton Ada Apa Dengan Cinta? dan Eiffel I'm in Love, tentu akan ingat adegan ciuman Cinta dan Rangga serta Tita dan Adit di Bandara Internasional Soerkarno-Hatta. Mereka berciuman mesra di bandara sebagai tanda cinta yang harus dieskpresikan secara terbuka.Â
Dalam pandangan saya, dari dua film tersebut, kita bisa melihat bagaimana dinamika industri film Indonesia pascareformasi atau era 2000-an awal menghadirkan permasalahan hidup kaum remaja di tengah-tengah pergerseran orientasi kultural masyarakat selepas runtuhnya rezim otoriter Orde Baru.
Kaum remaja dan muda Indonesia bukanlah sekedar kelompok sosial berdasarkan kategori umur. Mereka bukan hanya sekedar anak sekolahan/kuliahan yang pada pagi hingga siang 'bergulat' dengan buku dan guru/dosen, sementara sore hingga malam hari menemukan kenikmatan di mall atau plasa yang semakin memenuhi lanskap kota-kota besar Indonesia.Â
Kaum muda merupakan kelompok sosial yang memiliki kompleksitas persoalan, dari yang romantis (semisal tentang masalah percintaan), peralihan/pencarian identitas, hingga yang bersifat ideologis (gaya hidup hedon dan konsumtif serta pertarungan dengan generasi tua, misalnya), yang menandai masa peralihan transisi anak-anak menuju dewasa dalam struktur dan relasi masyarakat kapitalis (Barker, 2004: 334-336).Â
Itulah mengapa Siregar (2004: 4) berargumen bahwa film-film dengan tema seputar kehidupan kaum muda akan tetap tumbuh dan digemari sesuai dengan perkembangan zaman, meskipun sering dianggap kurang bermutu, atau bahkan menjual mimpi dan bisa berbahaya bagi generasi muda, budaya, dan nasionalisme Indonesia.
ADA APA DENGAN CINTA?
Ada Apa Dengan Cinta? (Rudy Sujarwo, 2001, selanjutnya disingkat AADC) harus diakui merupakan film paling populer dalam 'genre pelajar'. Popularitas film ini menandai dimulainya babak baru perfilman Indonesia yang baru bangkit dari 'mati suri' pada pertengahan sampai akhir 90-an. AADC berbeda dengan film pada era Orba yang lebih banyak mengekspos kehidupan remaja laki-laki dengan kehadiran perempuan-perempuan cantik sebagai pelengkap permainannya.Â
Film ini berani keluar dari 'pakem laki-laki' dan menampilkan tokoh perempuan remaja sebagai tokoh utama, bukan sekedar sebagai tokoh pelengkap dunia laki-laki, meskipun permasalahan yang di hadapi tetap saja berkutat pada persoalan cinta. AADC juga tidak banyak mengekspos konflik dengan generasi tua, seperti film-film remaja di era 70 hingga 90-an, tetapi lebih menyuguhkan perayaan jagat perempuan dengan kedinamisan hidup dan persoalan cinta yang mereka hadapi. Â
Sebagai film remaja, AADC pada awal cerita menyuguhkan kisah kehidupan masa remaja Cinta (diperankan Dian Sastro Wardoyo) bersama geng-nya. Gambaran kehidupan remaja SMA perkotaan menjadi latar yang melekat pada diri dan perilaku sehari-hari mereka. Cinta dan kawan-kawannya saling membantu dan mengisi dalam kehidupan sehari-hari sehingga kekompakan menjadi ciri utama kedirian mereka.Â
Gaya bicara, berpakaian, dan pergaulan mereka dicitrakan sebagai kaum remaja kota yang tidak lepas dari ke-glamor-an kehidupan kota, tetapi mereka masih punya tanggung jawab dan komitmen terhadap persoalan akademis serta persoalan kehidupan lainnya. Cinta merupakan tokoh sentral yang lebih berperan sebagai 'ketua geng' dan mampu mengarahkan kawan-kawannya.
Namun, perkenalannya dengan Rangga (diperankan Nicholas Saputra) melalui puisi, membuatnya harus mengakui cinta yang bersemayam dalam dirinya. Meskipun, awalnya terjadi masalah dengan kawan-kawannya, Cinta pada akhirnya mendapat restu mereka untuk menjalin cinta dengan Rangga.Â