Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Kriya, Keindahan Fungsional, dan Perluasan Kajian

19 Januari 2022   12:37 Diperbarui: 19 Januari 2022   13:32 1878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni ukir kayu berbentuk naga hasil karya Yatiman seniman seni ukir relief 3 dimensi asal Jepara di Tangerang, Banten, Rabu (17/01/2017). Yatiman menjadi seorang seniman ukir kayu sejak umur 19 tahun di Jepara Jawa Tengah.(KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI) 

Sebenarnya, kalau kembali ke nilai fungsional, maka bisa dikatakan bahwa seni kriya rakyat lebih independen karena tidak membutuhkan bantuan-bantuan apresiatif dari pihak kritikus maupun kurator yang bernaung dalam kemegahan galeri maupun museum. 

Kriya rakyat bagaiamanapun juga adalah bagian dari sebuah industri dan perdagangan yang sudah memunyai sistem distribusi dan pemasaran sendiri, serta terbebas dari ‘aturan-aturan akademis’ jagat seni rupa. Namun, apakah realitas kriya rakyat sebagai bagian dari sistem industri dan perdagangan ini menjadikannya tidak harus mendapatkan apresiasi akademis?

Persoalan di atas memang dilematis, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara penghasil kriya rakyat lainnya, seperti Australia, Haiti, negara-negara Afrika, dan lain-lain. Mengenai persoalan ini Cochrane (1997: 56-57) menjelaskan adanya usaha untuk mendefinisikan posisi dan tempat baru bagi kriya dan praktik desain dalam masyarakat kontemporer. 

Termasuk, mempertanyakan terminologi yang melaluinya kita bisa memaknai objek-objek ke dalam nilai fungsional, seremonial, dekoratif ataukah ornamental, demikian juga halnya dengan apa-apa yang bisa diistilahkan ke dalam ekspresi personal. Dalam kenyataannya, apa yang kita kerjakan adalah mempertanyakan penyelamatan bahasa yang disalahtempatkan dalam kebangkitan sebuah pencarian nilai-nilai ideal seni rupa. 

Para pengkaji kriya bereaksi melawan nilai dan makna yang didefinisikan oleh bahasa seni rupa dan kesastraan. Karena mereka membutuhkan karya dengan pengertian-pengertian yang mengaplikasikan secara langsung pada kriya dan desain. Sesungguhnya, beberapa tulisan terkini tentang praktik kekriyaan yang paling berguna lebih bersifat sosiologis, bagaimana sejarahnya, dan bagaimana kita menempatkan nilai-nilai pada sifat, ide, dan beberapa objek tertentu.  

Paparan tersebut menunjukkan betapa para kritikus kriya rakyat berusaha menggugat standard penilaian kriya dengan menggunakan bahasa dan aturan seni rupa sebagai representasi dari budaya tinggi. Karena usaha apresiasi kriya dalam budaya tinggi cenderung menganggap kriya semata-mata sebagai benda fungsional. 

Mungkin standard apresiasi seni rupa lebih cocok diterapkan bagi karya kriya seni yang dihasilkan para Kriyawan-perupa. Apa yang paling mengena adalah tulisan-tulisan sosiologis tentang kriya yang juga harus memperhatikan sejarah kriyawan dan karya ciptanya serta lingkungan dan institusi yang mendukung proses kreatif sebuah karya kriya. 

Termasuk di dalamnya adalah peran dan ekspektasi yang berubah dari sekolah-sekolah seni, museum dan galeri seni rupa, pengaruh dari sifat dan praktik budaya lain, peran dan makna dari organisasi-organisasi kriya, pengaruh dari gerakan sosial dan politik yang lain, serta peran ekonomi, sosial, atau bahkan romantis dari para kriyawan dalam komunitas mereka. Jadi, pada dasarnya masih ada celah bagi karya kriya rakyat untuk bisa bersuara. 

Masalahnya adalah bagaimana kemudian institusi-institusi seni, seperti museum, galeri, perguruan tinggi, dan para kritikus serta kurator memperlakukan kriya rakyat. 

Apakah kriya rakyat hanya dijadikan ‘sebatas pajangan eksotis yang menandakan kearifan lokal’ ataukah kriya rakyat juga diberi penilaian-penilaian sesuai dengan estetika penciptaan kriya dan lingkungan-lingkungan yang membuatnya ada? Ataukah kriya rakyat sudah dianggap mapan dengan jagatnya sendiri. Semua tergantung pada perspekti yang diemban masing-masing pihak? 

Apa yang harus dipahami adalah kriya rakyat dalam segala bentuknya mempunyai standar-standar estetika penciptaan yang juga bisa dikaji oleh mahasiswa seni kriya, kritikus ataupaun kurator sebuah museum ataupun galeri sehingga kriya tidak lagi dipandang sebagai seni yang kurang bernilai filosofis-ideologis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun