Di sisi lain, ia ingin menggoyang kekangankekangan moralitas dan agama yang banyak menimbulkan ketimpangan atas nama takdir. Penonton bergoyang tidak hanya demi melihat liukan dan lekukan tubuh para penyanyi yang semakin 'liar' ketika musik koplo semakin rancak.
Mereka bergoyang untuk kebutuhan batin, untuk membebaskan ekspresi dan menikmati hiburan, di tengah-tengah kesuntukan dan ketidakadilan hidup yang mereka alami. Dengan berteriak, bersorai, sembari bergoyang, mereka ingin menggoyang ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang mereka alami selama ini.Â
Mereka ingin menggoyang segala tatanan normatif yang hanya membuat kehidupan mereka menderita. Dan kalaupun mereka tidak mampu melakukan subversi melalui gerakan sosial, melalui gerakan tubuh dalam pagelaran dangdut koplo-lah mereka bisa mengeskpresikan semua ketertindasan yang mereka rasakan.
Memang, dalam praktik bergoyang dan menggoyang itu, sebagian (tidak semua) penonton seringkali menenggak minuman beralkohol. Dalam setiap pagelaran dangdut koplo atau pagelaran musik yang lain aroma alkohol menjadi 'semacam pelengkap' bagi perayaan akan kebebasan ekspresif. Namun yang harus dicatat adalah tidak semua penonton dangdut koplo mengkonsumsi alkohol.Â
Dan, mereka yang mengkonsumsi alkohol biasanya lebih digunakan untuk lebih menikmati goyangan, untuk bisa melayang-layang. Salah seorang teman dari Lamongan mengatakan bahwa ketika menenggak anggur lokal atau bir, ketika bergoyang bisa terasa entheng dan rileks, sehingga mereka bisa merasakan kenikmatan.Â
Sama seperti para pengibing tayub menenggak bir untuk membuang rasa malu dan rileks ketika menari bersama tandak, penari. Terlepas dari bermacam motivasi yang ada, konsumsi alkohol, tidak harus menjadi justifikasi untuk mengatakan penonton tidak bermoral. Meskipun terkadang karena pengaruh alkohol bisa menimbulkan tawuran antarpenonton.Â
Yang harus diperhatikan adalah banyak kompleksitas masalah yang menjadikan peristiwa-peristiwa negatif tersebut hadir di tengah-tengah pagelaran. Mereka adalah korban segala kebobrokan sistem yang dibangun di negeri ini dengan beragam kecurangan dan ketidakadilannya. Mereka yang selama ini dicekoki dengan ajaran moralitas dan agama, tetapi di sisi lain, mereka melihat ketidakmampuan tokoh-tokoh agama dalam memberikan contoh-contoh bijak. Apakah mereka patut disalahkan?
Para musisi, penyanyi, dan penonton, dalam pagelaran dangdut koplo memang sampai saat ini belum menggunakan kekuatan estetik mereka untuk menciptakan gerakan massif demi merubah ketimpangan masyarakat. Mereka selama ini lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kebutuhan ekspresif untuk membebaskan diri dari kekangan dan tekanan sosial.Â
Sampai saat ini belum ada kekuatan politik yang benar-benar mampu menggerakkan 'keliaran' musik dan penonton yang jumlahnya dalam satu kali pagelaran bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Memang mereka banyak dimanfaatkan parpol, calon bupati/gubernur/presiden untuk menggaet suara.Â
Namun, kehadiran mereka di tengah-tengah kampanye tidak bisa dijadikan penanda bagi pilihan politik mereka. Seandainya muncul kekuatan politik alternatif yang secara sistematis mampu mengorganisir penonton, sangat mungkin, dangdut koplo bisa menjadi senjata bagi gerakan sosio-politik yang ampuh, asal semua itu ditujukan untuk kepentingan perbaikan sistem sosio-politik di negeri yang carut-marut ini.Â
Namun, kalau semua ditujukan untuk kepentingan politik sesaat dan untuk semata-mata untuk kekuasaan elit tertentu, niscaya semua itu tidak akan berhasil karena para penonton saat ini sudah mempunyai pilihan-pilihan logis dalam memberikan aspirasi politiknya.