Dangdut dan Transformasinya
Dangdut, sejak perkembangan awalnya, selalu diidentikkan sebagai musik rakyat kelas bawah. Rancaknya kendang (biasa juga disebut ketipung) dan meliuknya suara seruling menjadi penanda bagi riuhnya suasana yang dihadirkan oleh pagelaran dangdut di tengah-tengah rakyat yang sehari-harinya menguras tenaga untuk pekerjaan kasar.Â
Segala beban hidup dan kelelahan selama menjalankan aktivitas kerja sehari-hari seolah-olah mendapatkan pelampiasan dalam suasana. Meskipun tidak jarang terjadi tawuran sesama penonton, ruang cair yang dihadirkan dangdut benar-benar bisa menjadi sarana untuk 'menuntaskan' hasrat estetik dan peregangan beban hidup bagi wong cilik.
Nama Rhoma Irama, tidak bisa dilepaskan dari sejarah popularitas dangdut di tengah-tengah rakyat. Frederick (1997: 234-264) baragumen bahwa Rhoma mampu membaca peluang kreatif untuk memunculkan dan menciptakan dangdut sebagai musik yang mampu menggerakkan tubuh sembari menawarkan romantisme, nilai-nilai moralitas maupun pesan-pesan agamis dalam lirik lagunya .Â
Dangdut romantis dan agamis ala Rhoma dan Soneta-nya selama era 70-90-an mampu menjadi musik populer, sejalan dengan perkembangan musik-musik pop industri lainnya. Meskipun memperoleh popularitas, termasuk melalui film-film yang dibintangi Rhoma maupun A Rafiq, citra dangdut sebagai musik ndeso masih begitu melekat.
Pada era 90-an dangdut mulai memasuki babak baru dengan semakin banyaknya artis-artis pendatang baru. Kehadiran artis-artis baru tersebut diiringi dengan semakin beragamnya varian dangdut, dari dangdut reggae hingga dangdut house music. Pun media---terutama televisi---menjadi semakin 'bersahabat' dengan dangdut, dari TVRI, TPI, sampai Indosiar. Citra dangdut menjadi semakin bergengsi dibanding era-era sebelumnya.Â
Dangdut tidak hanya dimainkan di lapangan kecamatan maupun kabupaten, tetapi juga di hotel berbintang. Sejalan dengan itu, semakin banyak elit politik negeri ini, dari menteri hingga gubernur, tidak segan-segan lagi tampil di depan publik sembari menggelar pertunjukan dangdut. Bahkan Basofi Sudirman (mantan Gubernur Jawa Timur) semasa menjabat membuat album dangdut yang laris manis di pasaran, Tidak Semua Laki-laki.Â
Dan, parpol pun berlomba-lomba nanggap dangdut ketika masa kampanye demi menarik perhatian massa calon pendukung, meskipun sebenarnya para penonton yang hadir belum tentu mencoblos parpol yang bersangkutan. Intinya, dangdut telah bertransformasi menjadi 'barang mewah' yang menarik untuk dinyanyikan, baik untuk kepentingan komersil maupun politik.
Di tengah-tengah dominasi dangdut industrial dengan sentralnya Jakarta, di wilayah yang selama ini dianggap kawasan periperal (pinggiran) kebudayaan, Jawa Timur, pada era 2000-an awal banyak berkembang orkes-orkes dangdut tanggapan yang banyak melakukan pentas pada saat ada hajatan maupun perayaan Hari Kemerdekaan (biasa disebut 17-an).Â
Lagu-lagu yang dibawakan para biduwan/ita-nya tetap diambil dari lagu-lagu yang dipopulerkan penyanyi-penyanyi yang telah mapan, seperti Rhoma Irama, A Rafiq, Masyur S, Evi Tamala, dan lain-lain.
Namun secara konsep musik, apa yang digelar oleh para musisi lokal Jawa Timur jelas berbeda dengan dangdut aurs utama ala Soneta. Model pukulan kendang yang dimainkan para musisi tersebut lebih rancak, cepat, dan dinamis, sehingga dinamakan "dangdut koplo".Â