Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin!
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu!
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia!
Matahari menjadi kata yang cukup dominan; Â "motor struktural" yang cukup determinan dalam hal melahirkan kata dan bait secara menyeluruh serta makna di dalam puisi ini. Matahari dalam konsepsi kehidupan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang bersifat "mutlak".Â
Artinya, seluruh wilayah Republik dan semestanya mendapatkan anugerah melimpah berupa sinar matahari; dari pagi hingga senja, dari ujung timur hingga ujung barat, dari permukaan tanah, lautan, hingga langit. Tidak mengherankan, dalam bait pertama, semacam pengantar atau pengenalan terhadap sebuah subjek bernama matahari, kita bisa menjumpai beberapa istilah seperti "sanubariku", "samodra raya", "mulutku", "pelangi", dan "cakrawala".Â
Matahari adalah subjek yang bisa berada dan  bangkit dalam lubuk sanubari, sesuatu yang bersifat mendalam, agung, atau menjelang pagi hari. Perjalannya akan menyapa dan menyentuh lautan luas atau samodra di bumi Indonesia, memberikan kehangatan kepada air laut dalam segala makhluk yang ada di dalamnya yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.Â
Panas menganga yang diberikan matahari juga bisa menjadi keindahan visual ketika bercumbu dengan air langit, pelangi. Wacana ke-matahari-an yang mampu menghadirkan kehidupan dan keindahan menjadi konstruksi yang distrukturasikan dalam bait pertama puisi ini.
Pertanyaan berikutnya, siapa "-ku" dalam puisi ini? Karena ia membincang subjek matahari, kita bisa membacanya sebagai entitas "semesta Indonesia". Bisa jadi muncul tafsir lain yang lebih konotatif, seperti penguasa yang sangat kuat yang bisa mempengaruhi dan menggerakkan kehidupan di Indonesia.Â
Saya memilih "bumi Indonesia" karena ini berkaitan dengan bait berikutnya yang memainkan paradoksisasi dengan kondisi ideal keberadaan matahari. Â "-Ku" dalam bait kedua adalah "-Ku" yang berkontrakdiksi dengan "-Ku" dalam bait pertama, meskipun sama-sama "semestra Indonesia".Â
Menjadi paradoks karena cerita kehidupan dan keindahan harus menjumpai realitas "wanita miskin" yang keluar dari "jidat" semesta Indonesia, yang terbakar sinar matahari. Wanita ini adalah buruh tani yang kakinya harus terbenam di lumpur sawah hanya demi mengharapkan imbalan seperempat gantang beras.Â
Wanita itu adalah representasi buruh tani miskin yang banyak terdapat di Indonesia para era Orde Baru. Mereka adalah kaum miskin yang harus memberikan tenaga fisiknya demi menyambung hidup, bekerja keras, sampai merelakan "tuan tanah" menanam mereka, mempekerjakan buruh tani perempuan di tanah berlumpur.Â