Hal itu ditopang pula dengan masih kuatnya tradisi silaturahmi dalam bentuk cangkrukan di beberapa warung di sekitar Kampus UNEJ. Dalam forum cangkrukan (bercengkrama santai) tersebut mereka bisa berdiskusi berjam-jam untuk membincang kesenian sembari diselingi guyon. Warung Cak Kumis Sardan, di selatan PKM UNEJ, seringkali menjadi pangkalan untuk diskusi sampai menjelang subuh.
Gairah berteater di Jember juga menarik komunitas atau penggiat dari luar kota untuk menggelar pertunjukan di kota tembakau ini. Yang saya ingat adalah pertunjukan komunitas  Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet di STAIN Jember, menjelang akhir 1997. Pada waktu itu Ratna Sarumpaet menggelar monolog Marsinah Menggugat.Â
Lakon ini merupakan bagian dari drama penuh berjudul Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Marsinah adalah tokoh buruh perempuan asal Nganjuk yang dibunuh aparat militer karena memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh di Jawa Timur. Marsinah merupakan martir bagi gerakan buruh dan perempuan serta korban simbolik dari kekerasan dan korupsi oleh negara (Winet 2010: 191).Â
Dengan mengusung naskah ini, Sarumpaet mendapatkan pengakuan nasional dan internasional karena Marsinah merupakan subjek yang membuka borok pemerintah. Meskipun pertunjukan serupa di Taman Budaya Surabaya, 26 November 1997, dihentikan oleh aparat keamanan, pertunjukan yang diselenggarakan oleh Korps Putri PMII Jember ini bisa terlaksana dengan lancar.Â
Pertunjukan yang disajikan Sarumpaet benar-benar memukau penonton yang mayoritas adalah penggiat teater di beberapa kampus di Jember. Â Dari awal pertunjukan hingga forum apresiasi mereka bertahan di Aula STAIN. Even diskusi bersama Sarumpaet benar-benar dimanfaatkan para penggiat teater untuk mendapatkan pengetahuan tentang monolog dan kritik terhadap penguasa.
Selain memperkeras "teriakan perlawanan" terhadap rezim Suharto yang semakin menua di akhir tahun 1997, Marsinah Menggugat di STAIN, menurut saya, menawarkan beberapa hal baru yang melengkapi formasi resistensi terhadap rezim penguasa. Pertama, mengartikulasikan isu-isu penindasan dan kekerasan negara melalui naskah teater yang 'terang-benderang' di saat otoritarianisme masih bercokol dalam struktur formal dan batin rezim tentu membutuhkan keberanian tersendiri.Â
Dan, Sarumpaet memberikan satu pelajaran berharga bahwa keberanian itu harus dipupuk dan disuburkan melalui karya-karya teater yang jelas-jelas ber-misi. Artinya, pertunjukan seni tidak boleh takut menyuarakan ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, korupsi, dan bentuk-bentuk dominasi lain yang merugikan Rakyat, khususnya melalui narasi pertunjukan yang memudahkan misi itu diterima penonton.Â
Tentu saja di Jember pada waktu banyak kasus yang bisa diungkap dan dijadikan sumber kreatif untuk pertunjukan teater, seperti kasus tanah Jenggawah di mana para petani berkonflik dengan pihak perkebunan, kasus Sukorejo di mana para petani berkonflik dengan pihak Secaba (Sekolah Calon Bintara), dan beberapa kasus lainnya. Sayangnya, saya belum menemukan pertunjukan yang me-lokal; menggunakan isu-isu tersebut sebagai basis naskahnya.Â
Kedua, bahwa perempuan penggiat teater juga bisa mengisi peran-peran dominan, seperti menjadi sutradara dan ketua komunitas, selain sebagai pelaku pertunjukan. Paling tidak, kehadiran Sarumpaet bisa menginspirasi para perempuan penggiat teater di Jember untuk lebih tidak hanya memilih peran sebagai pelaku, tetapi juga sutradara, misalnya, sehingga mereka bisa berkontestasi dengan para sutradara lelaki. Kreativitas para sutradara perempuan ini tentu akan memperkaya dan mendinamisasi teater di Jember.
HILANGNYA MUSUH BERSAMA & PERHATIAN KEPADA PENONTON DI ERA REFORMASI Â
Jatuhnya Suharto oleh gerakan Reformasi, Mei 1998, di satu sisi memberikan atmosfer dalam kebebasan berekspresi dalam pengertian luas, termasuk kesenian di dalamnya serta mengungkapkan pemikiran kritis tanpa harus dibayang-bayangi oleh ketakutan.Â