Sementara dari perspektif wacana, iklan ini merupakan representasi lain dari semangat feminisme yang semakin berkembang. Kalau pada iklan sebelumnya, representasi yang diciptakan berkaitan dengan kemampuan perempuan dalam mengendalikan pekerjaan kantor dan pekerjaan luar kantor dengan tetap tenang dan tersenyum, maka semangat feminisme yang berkembang dalam iklan ini adalah bahwa dengan tubuh seksinya (bukan dalam konteks sensual, tetapi pilihan) seorang perempuan sebenarnya mampu menempati posisi kerja luaran yang penuh tantangan dan mendobrak tabu tubuh yang selama ini berlangsung dalam masyarakat.
Selama ini sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perempuan harus berpenampilan sopan ketika berada di tempat-tempat umum, sampai-sampai di beberapa daerah dibuat peraturan daerah yang mewajibkan perempuan menutup auratnya ketika keluar rumah.
Iklan ini, dengan kata lain, merupakan bagian dari formasi diskursif yang hendak melawan hegemoni tabuh tubuh perempuan sejalan denagn wacana-wacana lain yang berkembang dalam novel Indonesia kontemporer —semisal Saman karya Ayu Utami—yang banyak menggunakan ‘eksploitasi tubuh dan seksualitas’ untuk memberikan ‘letupan’ bagi konservatisme masyarakat.
LAKI-LAKI & KEMATANGAN PIKIRAN, PEREMPUAN & BELANJA
Laki-laki sejak zaman Yunani hingga saat ini, banyak digambarkan sebagai makluk pintar yang lebih banyak menggunakan akal pikirannya dalam menentukan persoalan- persoalan penting. Mereka adalah turunan Adam yang diyakini mempunyai kematangan dalam memutuskan pilihan-pilihan rasional dalam hidup. Wacana tersebut menyebar dan diyakini oleh hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi.
Iklan kredit BII menandakan konsep kematangan pikiran laki-laki. Bentuk citra yang diciptakan sangat jelas merepresentasikan konsep tersebut. Seorang laki-laki dengan pakaian kerja elegannya memandang empat pintu masuk yang berisi pilihan-pilihan yang berkaitan dengan penggunaan uang—pintu 1 “café”, pintu 2 "distro", pintu 3 "pertambangan, dan pintu 4 "argibisnis".
Apa yang mesti diperhatikan adalah ukuran masing-masing pintu tersebut. Pintu 1 dan 4 berukuran sama, pintu 3 paling besar, dan pintu 2 berukuran paling kecil dan terletak paling jauh. Dari model pencitraan tersebut kita menangkap makna bahwa si laki-laki akan memilih salah satu dari pintu tersebut, atau bahkan memilih untuk masuk ke semua pintu itu karena ia mendapatkan pinjaman investasi dari bank.
Namun dari sisi representasi, iklan tersebut menyampaikan satu pandangan ideologis tentang "kematangan rasionalitas laki-laki dalam bisnis". Mengapa demikian? Perhatikan ukuran masing-masing pintu. Pintu “pertambangan” dicitrakan dalam ukuran yang paling besar. Hal itu menandakan bahwa pintu inilah yang kemungkinan akan dipilih si laki-laki pertama kali ketika ia mendapatkan pinjaman dari bank.
Pertambangan, bagaimanapun, merupakan sasaran investasi yang menjanjikan keuntungan finansial yang cukup besar, apalagi dengan melimpahkan sumber daya mineral di Indonesia yang setiap saat dieksplorasi dengan beragam kemudahan regulasinya. Pilihan kedua, bisa jadi akan jatuh pada nomor 4 dan 2.
Namun, dari segi prioritas bisa ditebak bahwa yang akan dipilih adalah pintu “agribisnis”. Dalam konteks bisnis, peluang agrobisnis sampai saat ini masih terbuka karena potensi lahan yang cukup subur di Indonesia dan potensi pasar domestik maupun internasional. Pintu “café” sangat mungkin menjadi pilihan berikutnya.
Kontekstualisasi dari café adalah sebagai tempat untuk melepas kepenatan dari semua aktivitas bisnis ataupun menjamu relasi- relasi bisnis. Pintu “distro” merupakan pilihan terakhir karena tempat ini behubungan dengan kebutuhan pakaian-pakaian modis untuk keperluan- keperluan aktivitas kasual.