Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadirkan Pendidikan Modern dalam Geliat Kabut Bromo

26 November 2021   13:59 Diperbarui: 28 November 2021   08:26 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak Tengger naik truk sepulang dari sekolah di Sukapura. Foto: Dok. Pribadi

Tingginya kesadaran pendidikan warga Tengger dan masih kuatnya keyakinan terhadap tradisi leluhur memang dua kutub yang dari pemikiran modern tidak masuk akal. Namun, pola pikir modern yang mengatakan bahwa pendidikan akan merubah pola pikir tradisional masyarakat, tentu tidak bisa diterapkan secara mentah-mentah untuk melihat kondisi masyarakat lokal. 

Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Dua siswa SD di Ngadisari. Foto: Dok. Pribadi
Mekanisme hukuman kultural berupa kuwalat merupakan jawaban dari kondisi dualisme orientasi tersebut. Bagi masyarakat yang hidup dan mencari nafkah dari tanah Tengger, kuwalat merupakan dogma yang menakutkan. Karena begitu mereka melanggar adat, hukuman kultural sudah menunggu. 

"Kesulitan hidup" dan "sakit-sakitan" adalah dua contoh konkrit yang menanti para penyimpang. Bukankah mereka sudah modern dengan pendidikan? Kenapa masih percaya kuwalat yang berbau takhayul? Sekali lagi perlu dijelaskan warga Tengger sejak usia dini sudah dikenalkan dengan aturan, kearifan, ritual, dan agama. 

Mereka diperkenalkan secara langsung, mulai dari ruang keluarga, sekolah, dan pura. Bukti-bukti tentang sulitnya hidup bagi para penyimpang tradisi tentu akan menjadi empiri yang melekat dalam batin mereka. Akibatnya, daripada kuwalat, lebih baik mengikuti aturan tradisi. 

MENYIASATI DUALISME PENGETAHUAN & MENEGOSIASIKAN KEPENTINGAN

Apa yang menarik dikaji lebih lanjut adalah dualisme pengetahuan yang berlangsung dalam pikiran masyarakat Tengger. Pendidikan berbasis kurikulum modern, di satu sisi, telah mengantarkan mereka, utamanya kaum remaja dan generasi muda, ke dalam cakrawala wacana modern di mana kebebasan, rasionalitas, dan sekulerisme (pemisahan nilai agama dan tradisionalisme dari pikiran praktik pengetahuan) menjadi warna utama. 

Di sisi lain, mereka juga terbiasa dengan pengetahuan tradisional terkait religi dan kekuatan-kekuatan adikodrati yang bertentangan dengan nalar sekuler. 

Dalam nalar modern, dua konsep pengetahuan tersebut tentu tidak akan bisa bertemu. Namun, menurut kami, pertemuan dua pengetahuan tersebut dalam orientasi dan praktik hidup masyarakat Tengger terjadi karena mereka sebenarnya memiliki formula khusus dalam memaknai kehadiran pendidikan modern, selain keajegan dalam proses sosialisasi hukuman kultural berupa walat. 

Formula khusus yang saya maksud adalah mereka mengambil aspek-aspek pengetahuan modern yang menjadikan masyarakat Tengger tidak terbelakang dan bermanfaat bagi esksistensi mereka di tengah-tengah gelombang modernisasi saat ini, tanpa harus mengambil aspek-aspek kebebasan, rasionalisme, dan sekulerisme yang bisa mengganggu warisan religi dari nenek moyang. 

Artinya, ada kepentingan-kepentingan pragmatis di balik proses pendidikan di Tengger. Mereka belajar ilmu matematika dan ekonomi, misalnya, agar bisa mengerti dan memahami seluk-beluk angka dan hitungan uang, sehingga bisa membantu mereka dalam bertransaksi finansilan; menjual hasil-hasil pertanian ataupun menentukan harga untuk penginapan atau penyewaan jeep untuk wisatawan. 

Pelajaran bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris akan memudahkan mereka berkomunikasi dengan wisatawan. Para dhukun pandhita juga sangat terbantu dengan kemampuan Bahasa Indonesia, utamanya ketika mereka harus berkomunikasi dengan pejabat, menghadiri undangan seminar di kota, maupun melayani wawancara para peneliti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun