Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Budaya Tak Benda: Bukan Sekadar Dicatat dan Ditetapkan

26 November 2021   06:32 Diperbarui: 26 November 2021   18:54 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah langkah yang bisa ditempuh pemerintah hanya pada sebatas pada pencatatan dan penyediaan informasi? Tentu tidak. Konvensi 2003 (Pasal 13) menjelaskan langkah-langkah lain yang bisa ditempuh oleh badan pemerintah untuk memastikan keberlangsungan perlindungan, pengembangan, dan promosi WBTB. 

Pertama, mengadopsi kebijakan umum yang bertujuan mempromosikan fungsi WBTB di masyarakat serta mengintegrasikan perlindungan WBTB dalam program yang dibuat. Kedua, membentuk satu atau lebih badan yang kompeten untuk urusan perlindungan WBTB di wilayahnya. Ketiga, menumbuh-kembangkan kajian saintifik, teknis, dan artistik, termasuk metodologi riset, dengan tujuan untuk mengefektifkan perlindungan terhadap WBTB, khususnya yang hampir punah. 

Keempat, membuat langkah-langkah legal, teknis, administratif, dan finansial yang sesuai dengan tujuan: (a) menumbuh-kembangkan kreasi atau memperkuat lembaga pelatihan dalam pengelolaan dan pewarisan WBTB melalui forum dan ruang yang ditujukan untuk pagelaran atau ekspresi; (b) memastikan akses terhadap WBTB sembari menghormati adat-istiadat yang mengatur akses tersebut; (c) membentuk lembaga dokumentasi WBTB dan memfasilitasi akses publik terhadap lembat tersebut. 

Tidak berhenti sampai di situ, Pasal 14 Konvensi 2003 menjelaskan bagaimana kontribusi pemerintah dalam pendidikan, peningkatan kesadaran, dan pengembangan-kapasitas. Pertama, memastikan pengakuan, penghormatan, dan perbaikan WBTB dalam masyarakat, khususnya melalui: (a) program edukasional, peningkatan kesadaran, dan informasi yang ditujukan kepada publik umum, khususnya generasi muda; (b) program edukasional dan pelatihan khusus di dalam komunitas dan kelompok terkait; (c) pengembangan kapasitas bagi perlindungan, khususnya dalam pengelolahan manajemen dan penelitian saintifik. 

Kedua, terus memberikan informasi kepada publik tentang bahaya ketika mereka mengganggu dan mengancam keberadaan WBTB. Ketiga, mempromosikan edukasi untuk memproteksi ruang alamiah dan tempat memori yang keberadaannya penting untuk mengekspresikan WBTB.    

Dari peran dan langkah-langkah yang bisa dimainkan dan dilaksanakan oleh pemerintah di atas, baik pusat maupun daerah, kita bisa bertanya sudah seberapa serius pemerintah RI menyiapkan dan membuat langkah-langkah strategis untuk perlindungan WBTB. Memang, setiap tahun sudah ada pencatatan, pengusulan, dan penetapan bagian dari budaya masyarakat lokal yang akan diajukan menjadi WBTB dalam level nasional dan selanjutnya diusulkan ke tingkat internasional. 

Namun, itu semua hanyalah langkah awal untuk perlindungan. Tidak cukup hanya berhenti sampai di situ. Ada aktivitas pendokumentasian, penelitian, pengembangan dan pemberdayaan para pelaku di masing-masing komunitas, pendidikan dan pewarisan yang juga harus diperhatikan oleh negara. 

Sementara, pemerintah getol mempromosikan banyak WBTB dalam paket-paket wisata berorientasi nasional dan global, sudahkah mereka membuat kebijakan yang jelas terkait aktivitas-aktivitas perlindungan tersebut? Rasa-rasanya kalaupun ada belumlah maksimal karena pemerintah pusat dan daerah belum memiliki cetak-biru perlindungan WBTB.

Apa yang menjadi masalah dalam hal kebijakan budaya pasca Reformasi, termasuk di dalamnya urusan WBTB, adalah belum jelasnya arah kebudayaan dari masing-masing rezim. Alih-alih, rezim negara larut dalam mobilisasi makna budaya bangsa yang romantik, tanpa memiliki kejelasan program yang bersifat operasional di lapangan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan kekayaan kultural masyarakat. 

Kecenderungan yang terjadi kemudian adalah dengan mudah mengambil rumus ekonomi dan industri kreatif dan pasar wisata yang menjual eksotisme tanpa mau terlebih dahulu menyusun cetak biru berdasarkan penelitian mendalam. Keinginan untuk melestarikan budaya bangsa yang sangat beragam terjebak di tengah-tengah neoliberalisasi ekonomi politik negara yang menjadikan komodifikasi dan massifikasi keunikan kultural sebagai solusi tanpa bisa memformulasi kebijakan yang berorientasi melindungi sekaligus memberdayakan budaya, para pelaku, dan komunitas (Setiawan, 2012c). 

Kalau memang rezim negara saat ini, yang terkenal dengan Revolusi Mental-nya, ingin benar-benar memperkuat dan memberdayakan keberadaan WBTB dan para pelaku serta komunitas pendukungnya, mengadopsi dan memodifikasi Konvensi 2003 untuk kepentingan nasional dan regional merupakan cara yang sesuai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun