Alih-alih difokuskan pada objek kriya, perlindungan ditekankan pada usaha para kriyawan untuk memproduksi kriya serta mewariskan kemampuan mereka kepada orang lain dan generasi berikutnya, khususnya yang berada dalam satu komunitas. Pewarisan keahlian kriya kepada generasi penerus merupakan tantangan yang tidak mudah karena perbedaan orientasi dan selera kultural dari generasi kriyawan yang sudah sepuh dengan generasi muda. Belum lagi adanya pantangan-pantangan tertentu yang dilekatkan dalam pembuatan kriya di mana tidak semua orang boleh belajar membuatnya.Â
Kalau kita perhatikan ranah-ranah yang masuk dalam kategori WBTB, tentu saja, kita sebagai sebuah bangsa boleh berbangga, karena kekayaan budaya Indonesia sangat banyak yang masuk kategori tersebut. Meskipun tidak semua bisa diusulkan dalam sekali waktu karena harus melalui mekanisme yang diatur oleh negara dalam level nasional dan UNESCO dalam level internasional.Â
PENTINGNYA PERLINDUNGAN
Apa yang menarik untuk ditelisik adalah mengapa kemudian WBTB menjadi penting untuk dilindungi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, salah satu fungsi khas WBTB adalah posisisnya sebagai bentuk identitas kultural yang mengikat anggota komunitas serta membedakannya dari komunitas-komunitas lainnya.Â
Kenyataan itu pula yang melahirkan keberagaman kultural di dunia ini, di mana komunitas yang satu dengan komunitas yang lain memiliki perbedaan dan pembeda kultural. Meskipun secara historis kita tahu, proses kolonialisme Eropa sedikit banyak berkontribusi pada marjinalisasi dan liyanisasi banyak pengetahuan lokal karena penyebarluasan pengetahuan-pengetahuan modern dalam praktik pendidikan.
Hitungan neptu dan weton yang memahami hari dan angka dan hubungannya dengan makna kultural Jawa, perlahan tapi pasti dipinggirkan dari kesadaran masyarakat karena kuatnya pengaruh Matematika yang diajarkan di lembaga pendidikan, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.Â
Bahkan, ketika di masa kini ada orang yang menghitung neptu dan weton, banyak orang mengatakan bahwa mereka "terbelakang", "tidak masuk akal", dan, yang lebih parah lagi, "syirik". Demikian pula dengan tradisi Pranata Mongso, pengetahuan lokal Jawa tentang musim yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagian besar petani karena keyakinan dan orientasi mereka sudah berubah karena Revolusi Hijau yang mengedepankan modernisasi irigasi, kimiawisasi, dan mekanisasi.
Dari era 1980-an sampai saat ini, diakui atau tidak, masyarakat di belahan dunia sudah terbiasa dengan globalisasi yang ditandai semakin kuatnya aliran modal dan sistem ekonomi pasar, ideologi politik, Â media internasional, dan budaya Barat (Wise, 2008; Hannerz, 2000; Kien, 2004; Schuerkens, 2003). Potensi keseragaman kultural (cultural uniformity) menjadi menguat karena aliran kultural dalam globalisasi didominasi oleh negara-negara maju yang mengedepankan budaya modern berorientasi pasar.Â
Keseragaman kultural bukan berarti bahwa orang Indonesia, misalnya, menjadi warga negara AS, tetapi menjalani dan mengidealisasi nilai, praktik, dan produk budaya yang berasal dari negara tersebut. Perkembangan teknologi digital dan internet semakin membiasakan masyarakat di negara-negara ketiga dengan budaya kecepatan, meminjam istilah Tomlison (2007), yang tidak hanya ditandai dengan percepatan konsumsi benda-benda pabrikan ala negara-negara maju, tetapi juga nilai, norma, dan ideologi yang berimplikasi secara langsung terhadap kemampuan masyarakat lokal untuk mempertahankan atau untuk mentransformasi warisan-warisan kultural di masa kini.Â
Bagi sebagian pemikir, kondisi di atas tidak harus ditakuti karena bisa menciptakan hibriditas-hibriditas kultural, tetapi sebagian pemikir yang lain pesimis konsepsi ideal tersebut bisa terjadi dan memperkuat masyarakat lokal. Memang benar, budaya global tidak bisa serta-merta mengubah perilaku dan keyakinan masyarakat terhadap budaya mereka.
Sebaliknya, mereka bisa saja meniru, menyerap, dan menggunakan budaya Barat untuk mempertahakan dan mentransformasi budaya dan kedirian mereka di tengah-tengah perubahan sosial dan ekonomi sebagai akibat semakin kuatnya globalisasi. Namun, mereka tidak kehilangan sepenuhnya budaya warisan leluhur.Â