Pemahaman konseptual di atas, paling tidak, memberikan kita sudut pandang bahwa membincang WBTB bukan sekedar mencatat atau memberi label. Lebih dari itu, kita membutuhkan pemahaman yang komprehensif mengapa dan bagaimana sebuah ekspresi budaya bisa dikategorikan ke dalamnya.Â
UNESCO (2016) membuat kategori ranah yang bisa dimasukkan sebagai WBTB. Terdapat beberapa ranah yang masuk kategori WBTB berdasarkan Konvensi 2003 Pasal 2 Ayat 2. Pertama, tradisi dan ekspresi lisan termasuk bahasa sebagai piranti bagi WBTB. Yang termasuk dalam ranah ini adalah peribahasa, tebakan, dongeng, sajak/tembang kanak-kanak, legenda, mitos, tembang dan puisi epik, jimat, tembang/kidung, seni pertunjukan drama, dan lain-lain.Â
Tradisi dan ekspresi lisan digunakan untuk menyebarkan pengetahuan, nilai kultural dan sosial, serta memori kolektif. Bahasa sebagai medium ekspresi tradisi dan ekspresi lisan juga bisa dijadikan subjek WBTB karena dengan bahasalah semua proses kultural dalam masyarakat berlangsung, termasuk untuk kepentingan regenerasi
Kedua, seni pertunjukan (seperti drama, tari, dan musik). Yang termasuk dalam ranah ini adalah musik tembang dan instrumental, tari, teater, patomim, sajak yang dilagukan, dan ekspresi lain yang memiliki karakteristik seni pertunjukan. Dari ranah ini, musik merupakan yang paling universal karena ia bisa menjadi bagian integral dari seni tari, termasuk ranah WBTB lainnya, seperti ritual dan festival. Â
Tari merupakan gerakan tubuh yang diatur sedemikian rupa, biasanya mengikuti lantunan musik, di mana gerakan ritmisnya merepresentasikan kehidupan sehari-hari atau makna-makna tertentu dalam komunitas tertentu. Tidak hanya berkaitan dengan aksi dramatik, lengkingan suara penyanyi, dan gerak dinamis penari, seni pertunjukan sebagai WBTB juga berkaitan dengan instrumen musik, properti panggung, topeng, kostum, dekorasi tubuh, layar geber berdekorasi, termasuk tempat yang secara khusus dijadikan tempat, ruang kultural.
Ketiga, praktik sosial, ritual, dan perayaan. Merupakan aktivitas habitual (biasa dilakukan) yang menstrukturkan kehidupan sebuah komunitas atau kelompok serta diakui oleh atau penting bagi para anggotanya. Keberadaan aktivitas yang biasanya dijalankan dalam waktu-waktu tertentu penting karena bisa memperkuat identitas individu-individu yang menjalankannya sebagai sebuah kelompok atau masyarakat. Dalam masyarakat agraris, kegiatan tersebut menandai bergantinya musim, pekerjaan penting berdasar kalender pertanian, atau daur hidup. Juga berkaitan erat dengan pandangan dunia dan persepsi komunitas terhadap sejarah dan ingatan kolektif mereka.Â
Wujud dari ketiga ranah ini antara lain: ritual persembahan/pengorbanan; ritual kelahiran, pernikahan, dan kematian; pengambilan sumpah; sistem hukum tradisional; permainan dan olah raga tradisional; kekerabatan dan upacara kekerabatan ; bentuk pemukiman; tradisi kuliner; uparaca musiman; kegiatan yang hanya dilakukan laki-laki atau perempuan; kegiatan berburu, memancing, dan berkumpul-kumpul, dan lain-lain. Termasuk di dalam wujud-wujud tersebut adalah ungkapan dan bahasa tubuh khusus, pembacaan doa atau mantra, kidung atau tarian, pakaian khusus, prosesi, pengorbanan binatang, dan makanan atau sesajen khusus.
Keempat, pengetahuan dan praktik yang berkaitan dengan alam dan semesta. Yang termasuk dalam ranah ini adalah pengetahuan, keahlian, kemampuan, praktik dan representasi yang dikembangkan oleh komunitas dengan cara berinteraksi dengan lingkungan alam.Â
Cara pikir terkait alam yang oleh rasionalitas modern dianggap tidak masuk akal ini diwujudkan dalam melalui bahasa, tradisi lisan, perasaan terikat terhadap tempat, memori, spiritualitas, dan pandangan dunia. Pemikiran tersebut juga mempengaruhi nilai dan keyakinan serta mendasari praktik sosial dan tradisi kultural.Â
Sebaliknya, pemikiran itu dibentuk oleh lingkungan alam dan jagat yang lebih luas dari komunitas. Ranah ini terdiri dari bermacam area seperti kebijakan ekologis tradisional, pengetahuan lokal, pengetahuan lokal tentang flora dan fauna, sistem pengobatan tradisional, ritual, keyakinan, kosmologi, shamanisme (perdukunan), organisasi sosial, festival, bahasa, dan seni visual.Â
Kelima, kepakaran/keahlian kriya tradisional. Ranah ini bisa dibilang menjadi perwujudan paling bendawi dari WBTB. Yang patut dimengerti adalah Konvensi WBTB 2003 hanya concern dengan kemampuan dan pengetahuan di dalam kepakaran kriya ketimbang pada produk kriya itu sendiri.Â