Namun, WBTB bukanlah tembang atau tarian tradisional yang sudah direkam dan disebarluaskan dalam bentuk VCD, tetapi yang dinyanyikan dan ditarikan secara langsung dalam pertunjukan. Sebuah tarian, ritual, dan tembang bisa dikategorikan sebagai WBTB ketika dilakoni oleh komunitas yang menganggapnya sebagai kepunyaan mereka atau dipraktikkan oleh orang-orang yang menghidupkan tradisi tersebut dan yang akan mewariskannya kepada generasi berikutnya.Jadi, karya yang sudah dicipta-ulang oleh mahasiswa, dosen, peneliti, atau seniman dari komunitas lain tidak bisa dianggap sebagai WBTB.Â
Kedua, adanya "agensi" dari sekelompok orang yang mengakui sebuah bentuk khusus ekspresi kultural sebagai simbol identitas komunal mereka, yang menempatkannya secara konseptual sebagai kategori refleksi-diri dan identifikasi-diri serta dilegitimasi oleh praktik historis dan secara khusus diakui sangat bermakna. Maka, sebuah WBTB bisa dikatakan kehilangan ciri khasnya ketika sudah dimodifikasi oleh pihak lain yang bukan anggota dari komunitas tersebut, apakah mereka pegawai pemerintah, penelitia/mahasiswa/dosen, seniman, pengusaha, atau pihak-pihak yang lain.Â
Ketiga, WBTB dijalankan bersama-sama dengan proses sosial dan aspek kehidupan lainnya. Dalam artian ia bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diasingkan dan dikucilkan dari konstelasi gaya hidup yang lebih besar seperti modernitas atau dipisahkan dari interaksi dengan dunia ekonomi, politik, ekologis, dan lain-lain. Â Â
Selain itu, UNESCO juga menambahkan beberapa konsep yang melengkapi definisi di atas. Pertama, WBTB tidak hanya mengutamakan ekspresi tradisional, tetapi juga kontemporer, asalkan masih hidup hingga saat ini. Artinya, ia tidak hanya tradisi turun-temurun, tetapi bisa juga berupa praktik bersifat kontemporer yang di dalamnya banyak kelompok kultural bisa mengambil bagian.Â
Kedua, WBTB bersifat inklusif di mana ia sudah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya dan merespons lingkungan. WBTB berkontribusi terhadap ikatan sosial, memperkuat makna identitas dan tanggung jawab yang membantu individu-individu merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas serta merasakan menjadi bagian dari masyarakat secara luas.Â
Ketiga, WBTB bersifat representatif, bukan sekedar dinilai sebagai benda kultural karena eksklusivitas atau nilai lebihnya yang tak tertandingi. Ia berkembang dengan basis komunitas dan bergantung pada mereka yang pengetahuan tradisi, skill dan kebiasaan diakui oleh seluruh anggota, dari generasi yang satu ke generasi yang lain, atau ke komunitas-komunitas lainnya. Keempat, WBTB haruslah berbasis komunitas. Ketika ada pengakuan dari sebuah komunitas, kelompok, atau individu yang menciptakan, menjalankan dan mewariskannya, sebuah ekspresi atau praktik bisa dikatakan sebagai WBTB.Â
Pemahaman-pemahaman di atas bisa kita kritisi karena masih mengkonstruksi WBTB dalam perspektif esensial, dalam artian tidak berubah atau tidak bertansformasi dari waktu ke waktu, sedangkan lalu-lintas globalisasi yang membawa-masuk nilai dan produk budaya Barat-modern semakin biasa.Â
Dalam aspek pewarisan antargenerasi, WBTB bisa dibaca dalam konteks yang lebih dinamis dan transformatif, di mana sangat mungkin berlangsung kreativitas oleh para pelaku dalam merespons perubahan sosial dan kultural masyarakat. Lenzerini (2011: 108-109) menjelaskan bahwa WBTB sangat mungkin dimodifikasi dan disesuaikan oleh para pelakunya sebagai bentuk kecerdasan dalam memahami dan menyiasati perubahan.Â
Dengan kata lain, WBTB tidak bisa diposisikan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan dalam rumah kaca sekedar sebagai warisan monumental atau 'disembuhkan dari penyakit kronis' (Kuutma, 2012: 22-23), tetapi sebagai ruang kultural yang menjadi objek dari strategi perlindungan ganda; yang bertujuan secara simultan untuk pelestariannya dan secara konstan untuk kemampuan adaptasinya, mengikuti evolusi dari para pencipta dan pelakunya.Â
Lebih dari itu, selalu berpikiran bahwa warisan kultural itu harus selalu tetap dari waktu ke waktu juga bisa terjebak ke dalam pola pikir eksotis warisan kolonial yang selalu memosisikan masyarakat di dunia ketiga sebagai subjek tradisional, irasional, magis, terbelakang, dan susah berkembang. Sementara, dalam kehidupan nyata, kita tidak bisa lagi menemukan gambaran masyarakat lokal yang sepenuhnya tradisional seperti itu.Â