ritme air: jatuh
mengungkap senyap di antara secuil surga di muka bumi; surga yang mulai bercampur dendam: ketika engkau bertutur tentang cinta; cinta yang disuguhkan pada kebahagiaan yang tak pernah dimiliki, bahkan oleh hatimu.
Sisa hujan...malam ini: membawamu kembali berkuasa dalam bayangan senyum selalu bercampur air mata terhenti. Bukan karena sedih, tapi perjalanan yang begitu jauh dari doa; doa untuk membangun sebuah gubuk berkawan kabut dingin selalu setia wajahmu disenyapkan harapan: bukan harapanmu; harapan mereka yang mencintaimu sebagai anak dan bidadari pelepas lelah.
Menjalani petuah digariskan hidup: menempuh jagat tak pernah diinginkan. Selalu tersenyum meski beribu matapisau mengendap di kedua mata memandangmu.
Sisa hujan...malam ini: melepas suara lirih dari jendela-jendela yang mulai rapat.
"Aku terlahir dari sebuah rahim di balik gubuk reyot. Seorang perempuan bertaruh beku. Ibu bumi membuka langit dari sebuah kawah perjanjian. Aku ditiup angin melintasi samudra pasir menikmati hidup dalam ayunan hijau. Sampai pada saat mereka berdua menjemputku, memberi dongeng: putri jelita hidup bahagia.Â
Lena...terlena, waktu demi waktu tanpa beban menjalani segala kisah. Tanpa sadar dinaungi sebuah bhakti sebuah perjanjian suci: ditorehkan dalam hitungan-hitungan balas budi. Seorang pangeran memanggilku bersama gemerlap dihantar kereta kuda. Mengajakku melukis mimpi dalam hingar teramat jauh.Â
Maka, inilah aku, seorang pengabdi yang harus selalu melupakan jiwa. Pasrah dalam pertautan selalu disucikan. Merasakan hujan sebagai kehangatan karena aku tak pernah boleh merasa."
Sisa hujan...malam ini: biarlah melelapkan semua lelahmu, semua sedihmu, semua kemarahanmu. Mungkin masih tersisa mimpi yang membawamu kepada sebuah cerita berlari menuju padang membentang.
Yogyakarta, 9 Juni 2010
EPILOG BIDADARI
Bidadari itu bertandang malam ini, mengabarkan senyum berselimut mendung. Lincah tubuhnya tiba-tiba diam di atas ranting basah. Tak juga angin bergerak. Tak juga bintang memancar. Wajah pucat memulihkan gelap merambat
"Aku terjebak dalam kinanti melangit; meluluhkan ruang sadar terkesima. Batas akal terdekap hangat maya senandung, memudarkan simfoni hati mulai terjaga. Kini aku hanya diam di sini; di atas ranting mulai patah. Aku tahu ini bukan takdir, tapi kekalahan yang harus menikamku perlahan-lahan."
Bidadari itu membuka mata mulai kering. Berat ingin membaca rangkaian mantra: menjerat tubuh dan akalnya di antara jejaring gelombang hampa. Ia mulai berhitung kesempatan.Â
"Tak harus meratapi kekalahan. Aku masih bernyawa tak harus merasa kalah. Aku masih berakal. Bersama serpihan remuk sang hati aku akan mematahkan ranting: memulai pagi menghilang dalam hidup."
Jember, 16 November 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H