Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identitas Using Banyuwangi dalam Kendali Rezim Orde Baru

29 November 2021   05:47 Diperbarui: 29 November 2021   06:51 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya daerah atau tradisional dianggap mengandung nilai-nilai adiluhung sebagai identitas masyarakat daerah dan bangsa yang bisa menjadi filter bagi berkembangnya gaya hidup Barat melalui beragam budaya pop yang diimpor dari Amerika Serikat dan ditiru oleh banyak kreator di tanah air. 

Meskipun demikian, rezim negara juga tidak menghendaki budaya feodalisme yang bersemayam di dalam banyak budaya daerah ikut dikembangkan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemajuan yang ditawarkan pembangunan nasional. 

Selain itu, mereka juga tidak ingin muncul kekuatan-kekuatan politik yang dibangun berdasarkan kesamaan identitas kultural, semisal bahasa dan kesenian yang memang sangat mudah membangun imajinasi dan ikatan kolektif kedaerahan. Munculnya kekuatan-kekuatan politik berbasis kedaerahan bisa menjadi ancaman serius terhadap kemapanan otoritas politik negara serta diwacanakan bisa menggangu stabilitas nasional dan pembangunan nasional.

Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melalui koordinasi dengan aparatus militer diperbolehkan menghidupkan kesenian-kesenian rakyat, termasuk yang pada masa Sukarno berada dalam pengaruh Lekra. Tentu saja, konten dari pertunjukan kesenian tersebut tidak diperkenankan menyinggung atau mengkritik kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Aparat militer ikut menyensor konten yang akan disampaikan para seniman ke khalayak luas. 

Hal ini juga diterapkan ke dalam industri budaya pop di tingkat pusat, dari musik, film, hingga tayangan televisi. Maka, di beberapa daerah Jawa Timur, kesenian rakyat mulai dihidupkan kembali. Ludruk di wilayah kebudayaan Arek, misalnya, mulai digelar dalam hajatan keluarga maupun peringatan hari-hari besar dan bersih desa, tetapi dengan pengawasan ketat dari aparatus militer, sampai dengan urusan kidungan dan lakon yang harus disesuaikan (Setiawan & Sutarto, 2014).

Di Banyuwangi, Bupati Joko Supa'at Slamet menerapkan kebijakaan tersebut dengan mengumpulkan para seniman yang dulunya aktif di lembaga-lembaga berorientasi ideologi partai. Dalam arahannya, bupati menasehati para seniman untuk mengembangkan-kembali kesenian-kesenian daerah yang sudah ada. 

Hasnan Singodimayan, salah satu anggota HSBI yang ikut diundang bupati, masih ingat bagaimana ucapan Joko: "Sekarang ini ada potensi kesenian daerah, angkat itu, menurut kemampuan Saudara, jangan pecah belah perkara Partai, ndak usah mikir partai sudah" (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010). 

Kesenian daerah yang dimaksud adalah gandrung, angklung, serta janger yang dulunya sangat terkenal. Pesan Joko juga bermakna bahwa para seniman diizinkan untuk mengembangkan-kembali kesenian sebagai penopang budaya daerah, tetapi tidak diperkenankan untuk memasukkan ideologi-ideologi, khususnya ideologi komunis dan yang berbau SARA karena bisa dikhawatirkan menimbulkan konflik horisontal. 

Sebuah momen politis menjadi legitimasi untuk menggerakkan kembali kesenian rakyat Banyuwangi dengan arahan Negara. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar. Di antara kesenian yang ditampilkan adalah gandrung. Rupa-rupanya, penguasa Orba tersebut tertarik dengan kesenian ini. Pemkab Banyuwangi pun dipersilahkan mengembangkan kesenian rakyat dengan tetap melalui mekanisme pembinaan.

Dengan mengambil kebijakan pembinaan dan pelestarian yang disahkan dalam SK Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 (Waluyo & Basri, 2007), Joko mendapatkan penilaian positif dari kalangan seniman sebagai aktor kultural di Banyuwangi. Inilah fase dimulainya proyek hegemoni negara melalui prinsip artikulasi dan inkorporasi terhadap eksistensi budaya Banyuwangi warisan masa lampau, khususnya Using.

Dalam proses berikutnya, beberapa aktor kultural melakukan gerakan untuk 'membangunkan-kembali' para seniman rakyat yang 'tengah tiarap' akibat trauma. Pilihan yang diambil adalah kesenian yang menggunakan bahasa Jawa-Banyuwangi, atau yang di masa kolonial dilabeli bahasa Using, seperti gandrung dan angklung. Selain itu, kesenian drama janger atau damarwulan juga dikembangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun