Budaya daerah atau tradisional dianggap mengandung nilai-nilai adiluhung sebagai identitas masyarakat daerah dan bangsa yang bisa menjadi filter bagi berkembangnya gaya hidup Barat melalui beragam budaya pop yang diimpor dari Amerika Serikat dan ditiru oleh banyak kreator di tanah air.Â
Meskipun demikian, rezim negara juga tidak menghendaki budaya feodalisme yang bersemayam di dalam banyak budaya daerah ikut dikembangkan, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemajuan yang ditawarkan pembangunan nasional.Â
Selain itu, mereka juga tidak ingin muncul kekuatan-kekuatan politik yang dibangun berdasarkan kesamaan identitas kultural, semisal bahasa dan kesenian yang memang sangat mudah membangun imajinasi dan ikatan kolektif kedaerahan. Munculnya kekuatan-kekuatan politik berbasis kedaerahan bisa menjadi ancaman serius terhadap kemapanan otoritas politik negara serta diwacanakan bisa menggangu stabilitas nasional dan pembangunan nasional.
Dengan perspektif itulah, pemerintah daerah melalui koordinasi dengan aparatus militer diperbolehkan menghidupkan kesenian-kesenian rakyat, termasuk yang pada masa Sukarno berada dalam pengaruh Lekra. Tentu saja, konten dari pertunjukan kesenian tersebut tidak diperkenankan menyinggung atau mengkritik kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Aparat militer ikut menyensor konten yang akan disampaikan para seniman ke khalayak luas.Â
Hal ini juga diterapkan ke dalam industri budaya pop di tingkat pusat, dari musik, film, hingga tayangan televisi. Maka, di beberapa daerah Jawa Timur, kesenian rakyat mulai dihidupkan kembali. Ludruk di wilayah kebudayaan Arek, misalnya, mulai digelar dalam hajatan keluarga maupun peringatan hari-hari besar dan bersih desa, tetapi dengan pengawasan ketat dari aparatus militer, sampai dengan urusan kidungan dan lakon yang harus disesuaikan (Setiawan & Sutarto, 2014).
Di Banyuwangi, Bupati Joko Supa'at Slamet menerapkan kebijakaan tersebut dengan mengumpulkan para seniman yang dulunya aktif di lembaga-lembaga berorientasi ideologi partai. Dalam arahannya, bupati menasehati para seniman untuk mengembangkan-kembali kesenian-kesenian daerah yang sudah ada.Â
Hasnan Singodimayan, salah satu anggota HSBI yang ikut diundang bupati, masih ingat bagaimana ucapan Joko: "Sekarang ini ada potensi kesenian daerah, angkat itu, menurut kemampuan Saudara, jangan pecah belah perkara Partai, ndak usah mikir partai sudah" (Sariono, Subaharianto, Saputra & Setiawan, 2010).Â
Kesenian daerah yang dimaksud adalah gandrung, angklung, serta janger yang dulunya sangat terkenal. Pesan Joko juga bermakna bahwa para seniman diizinkan untuk mengembangkan-kembali kesenian sebagai penopang budaya daerah, tetapi tidak diperkenankan untuk memasukkan ideologi-ideologi, khususnya ideologi komunis dan yang berbau SARA karena bisa dikhawatirkan menimbulkan konflik horisontal.Â
Sebuah momen politis menjadi legitimasi untuk menggerakkan kembali kesenian rakyat Banyuwangi dengan arahan Negara. Pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar. Di antara kesenian yang ditampilkan adalah gandrung. Rupa-rupanya, penguasa Orba tersebut tertarik dengan kesenian ini. Pemkab Banyuwangi pun dipersilahkan mengembangkan kesenian rakyat dengan tetap melalui mekanisme pembinaan.
Dengan mengambil kebijakan pembinaan dan pelestarian yang disahkan dalam SK Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 (Waluyo & Basri, 2007), Joko mendapatkan penilaian positif dari kalangan seniman sebagai aktor kultural di Banyuwangi. Inilah fase dimulainya proyek hegemoni negara melalui prinsip artikulasi dan inkorporasi terhadap eksistensi budaya Banyuwangi warisan masa lampau, khususnya Using.
Dalam proses berikutnya, beberapa aktor kultural melakukan gerakan untuk 'membangunkan-kembali' para seniman rakyat yang 'tengah tiarap' akibat trauma. Pilihan yang diambil adalah kesenian yang menggunakan bahasa Jawa-Banyuwangi, atau yang di masa kolonial dilabeli bahasa Using, seperti gandrung dan angklung. Selain itu, kesenian drama janger atau damarwulan juga dikembangkan.Â