Andang Chatib Yusuf menulis puisi-puisi berbahasa Using, selain yang berbahasa Indonesia, yang mengangkat tema-tema rakyat jelata yang banyak dipenuhi metafor-metafor lokal.Â
Para seniman Lekra juga mengadvokasi kesenian Damarwulan dan Gandrung, sehingga semakin populer di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi dan kabupaten-kabupaten tetangganya.Â
Lekra berkontribusi besar terhadap besarnya jumlah pemilih PKI di Banyuwangi yang pada tahun 1955 menempati urutan ketiga dengan perolehan 60 ribu suara di bawah NU yang memperoleh 100 ribu suara dan PNI dengan 90 ribu suara (Ningtyas, 2009: 31).Â
Dengan kata lain, menurut saya, kontribusi para seniman dan sastrawan Lekra terhadap pengembangan identitas Using tidak bisa dianggap remeh, meskipun hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari tendensi politik institusi yang dikatakan underbow-nya PKI ini.Â
Populernya lagu-lagu berbahasa Using, baik yang menggunakan musik angklung maupun keroncong, misalnya, ikut serta mengkonstruksi sebuah wacana dan kesadaran bahwa di Banyuwangi memang nyata ada kekuatan kultural yang tumbuh dan berkembang dari tradisi agraris dan ekspresi rakyat jelata. Namun demikian, pada waktu itu, sekali lagi, belum ada gerakan untuk membentuk identitas atau suku Using.
Sayangnya, peristiwa berdarah 1965 ikut menenggelamkan krontribusi diskursif dan praksis Lekra terhadap pengembangan dan penyebarluasan identitas Using di fase-fase awal kemerdekaan RI.Â
Lebih parah lagi, banyak di antara seniman dan sastrawan Lekra yang harus kehilangan hak hidup mereka karena dicabut oleh laskar sipil yang mendendangkan kalimat suci atas provokasi aparat militer tertentu.Â
Sebagian lagi harus mendekam di penjara tanpa proses pengadilan. Masa 1965 sampai 1970 bisa dianggap sebagai "fase kelabu" dari proses pengembangan dan penumbuhan budaya Using di Banyuwangi.
Meskipun banyak seniman yang tidak dipenjara atau tidak dibunuh, mereka ketakutan untuk berkarya karena trauma pembunuhan 65. Sebuah hingar-bingar musikal, tari, drama, dan sastra dari Brang Wetan harus berhenti karena ambisi rakus sekelompok elit Republik yang celakanya menjadi komprador kekuatan politk dan modal asing.Â
Artinya, seandainya tragedi 65 tidak terjadi, kesenian-kesenian berbasis Using bisa menjadi kekuatan kultural yang berjalin-kelindan dengan kampanye Sukarno untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan melawan anasir-anasir kekuatan asing. Sayangnya, peristiwa itu terjadi dan sebagai salah satu akibat dari trauma yang diciptakannya, sebagian besar seniman Banyuwangi pada masa awal rezim Orde Baru hingga saat ini mengaku tidak tahu-menahu tentang Genjer-genjer dan Lekra yang telah ikut berkontribusi terhadap penumbuhan identitas Using.
MENYEMAI IDENTITAS DALAM KENDALI REZIM ORDE BARUÂ