Dalam kerangka demikianlah, mobilisasi identitas Using dimainkan oleh rezim penguasa. Di satu sisi, kebijakan ini mendapatkan dukungan dari sebagian besar budayawan dan pelaku seni karena merasa mendapatkan pengayom bagi keberlangsungan identitas Using, apalagi Samsul terkenal royal, suka memberi uang kepada mereka.Â
Di sisi lain, Samsul Hadi juga sangat cerdas dalam menginkoporasi dan mengkomodifikasi kepentingan penguatan identitas ini untuk menyukseskan proyek-proyek ekonomi-politiknya selama memimpin Banyuwangi. Apa yang tidak disadari sepenuhnya oleh elit-elit budayawan dan pelaku kesenian adalah rezim penguasa tetap memiliki agenda ekonomi-politik yang berbeda di balik agenda perayaan dan mobilisasi ke-Using-an.Â
Memang perhatian yang diberikan Samsul Hadi terhadap beberapa budayawan dan para seniman menjadikan mereka mengagungkan bupati ini dan memosisikannya sebagai pimpinan yang peduli budaya Using. Memang tidak semua seniman dan budayawan menganggap hebat Samsul, tetapi dalam wacana umum yang berkembang di Banyuwangi si bupati memang diposisikan sebagai pelindung dan pengayom seniman dan budayawan. Â
Kebanggaan akan semakin kuatnya identitas Using, rupa-rupanya, menjadikan mereka lupa bahwa si bupati juga adalah penguasa yang tentu saja ingin mendapatkan keuntungan dari kepemimpinannya. Sekali lagi kita bisa menengok perpsektif hegemoni untuk melihat bagaimana Samsul Hadi mampu mengartikulasikan sebagian kecil kepentingan para pelaku kultural di Banyuwangi untuk memperoleh pengakuan komunal (konsensus) terhadap kepemimpinannya.Â
Apa yang harus diperhatikan adalah bahwa sebagai bupati ia juga memiliki hasrat ekonomi-politik. Dengan mendapatkan konsensus via kebudayaan, ia bisa melakoni agenda dan kepentingannya, termasuk mengeruk keuntungan ekonomi melalui praktik korupsi, tanpa direcoki oleh para pelaku kultural.Â
Bukti bahwa ia menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan ekonomi-politik adalah ketika ia dijadikan tersangka pada bulan 18 Januari 2005 untuk kasus dugaan korupsi pembelian 2 kapal jenis Landing Craft Tank (LCT) "Sri Tanjung" sebesar Rp 15 miliar. Kasus ini pula yang menjadikannya tidak bisa ikut pemilihan bupati pada tahun 2005. Pada tahun 2007 ia mulai menjalani tahanan untuk kasus "Sri Tanjung" dan beberapa kasus lainnya seperti korupsi pembangunan lapangan terbang Blimbingsari, dan pembelian dok apung. Â
"APA BANYUWANGI HANYA PUNYA GANDRUNG?"
Lengsernya Samsul Hadi yang dinodai dengan kasus korupsi melapangkan jalan bagi Ratna Ani Lestari (selanjutnya disingkat RAL), istri Bupati Jembrana Bali, untuk dipilih menjadi Bupati Banyuwangi periode 2005-2010. Meskipun diterpa bermacam isu terkait asal-usul yang bukan "putra asli daerah" dan posisinya sebagai istri bupati Jembrana, RAL dengan menggandeng Yusuf Nuris (tokoh Nahdliyin) berhasil memenangi pemilihan.Â
Dalam 5 tahun kepemimpinannya, terjadi tegangan-tegangan kultural yang melibatkan elit kebudayaan dan para pelaku seni di Banyuwangi. Penyebabnya adalah adanya anggapan bahwa RAL tidak ingin melestarikan dan mengembangkan budaya Using karena secara geneologis dia bukanlah keturunan dari komunitas ini.
Dalam sebuah acara di masa kepemimpinannya, panitia menyajikan pertunjukan Jejer Gandrung sebagai pembukaan. Pada saat memberikan sambutan, RAL dengan santai mengatakan: "Apa Banyuwangi hanya punya gandrung?" Sontak saja, pernyataan ini cepat menyebar dari mulut ke mulut, utamanya di kalangan tokoh adat, budayawan, dan seniman pelaku gandrung.Â
Sebagaimana lazimnya yang terjadi dalam tradisi lisan, ucapan tersebut segera 'beranak-pianak' menjadi gosip panas, seperti "Bupati hendak meminggirkan kesenian Using", "Bupati akan mengganti budaya Banyuwangi dengan Bali", dan lain-lain. Gosip-gosip tersebut segera diperkaya dengan asumsi-asumsi personal terkait latar-belakang RAL yang segera menyebar ke dalam kesadaran personal para aktor kultural, khususnya tokoh adat dan pelaku seni dari komunitas Using. Misalnya, "Bu Bupati tidak tahu adat Using", "Dasar suaminya Bupati Jembrana", "Dasar penduduk Bali", dan lain-lain.