SITUS GERIMIS: DI SEBUAH PAGI
Kita berjalan ketika gerimis mengunjungi sebuah pagi. Tak juga kalah kepulan asap semakin pekat mengaungi hidup. Pertarungan demi pertarungan masih saja berlangsung. Orang-orang berlari memburu waktu. Lupakan batas pagi dan siang karena pekat terlanjur datang.
Pada sebuah lampu merah, suara-suara ini menghunus kesungguhan langkahmu.Â
Kita harus berpisah di perempatan ini karena aku harus belok kiri: meneruskan cerita yang tak pernah engkau pahami; menemani sayup-sayup suara semakin ditinggalkan; menemui wajah-wajah selalu disedihkan oleh persekutuan di balik sumpah.
Aku harus memilih jalan ini karena kebenaran yang kita bangun hanyalah cerita usang ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk bersama mereka.
Aku harus memilih jalan ini dan engkau turutilah keinginanmu. Biarlah perempatan ini menyaksikan perpisahan kita. Mungkin pada sebuah masa kita akan bertemu di perempatan lain.
Pada sebuah gerimis suaramu tak mampu membelah jelaga hitam: tak mampu kudengar dalam tangis beribu tahun.
Menyusuri jalan tengah Kampus UGM, 9 Juni 2010
TIGA KOMPOSISI SEPI
Kalau sepi adalah pertarungan, hujan membekap lukisan lembab: ini bukan pesan yang mesti di tulis dalam kesunyian; ini bukan mimpi yang harus dicari dalam tumpukan sejarah; ini bukan pula harapan yang harus diiris dalam kesepakatan-kesepakatan.
Sepi telah menjadi pertarungan, seekor kunang mengembalikan dusta: mukamu senja baru saja berlalu; menoreh keyakinan pada kumandang raga.
Aku harus terbang melintasi batas-batas waktu menengok sempurna mata di balik jendela. Ada bohong aku ceritakan kepada angin; kepada wajah menunggu itu.
Sepi memang masih berlangsung. Sudut-sudut semesta mengutuk dendam: kepastianmu adalah hina dirayakan api dalam keraguan Bubat.
Cinta itu adalah darah dipaksa kehendak menaruh jiwa dalam temaram jingga. Tak usah berpikir lelah mereka akan memaksamu dalam kesucian melayang.
Sepi memang kenyataan harus dirayakan: dengan cinta terlanjur anyir.
Yogyakarta, 18 Pebruari 2008Â
TERSENYUM: UNTUK LAGI SAKIT
Membaca mata menangis itu seribu tahun terungkap kembali. Seribu duka pelan-pelan masuk dalam ketidaksadaran. Inilah cerita mungkin kau lupakan dan begitu saja kau sandarkan di pagar rumah: bersama hujan berbagi keringat, bersama panas berbagi kebekuan senyum.
Perjalanan ini begitu jauh, tak mampu mata dan telinga mengabdi pada otak. Namun, tangis itu mengakui ketakkuasaannya pada kebahagiaan yang ditakdirkan takdir itu direbut dari mimpi, dari nyata, dari tangis dari tawa. Kaki-kaki kurus merangkak dalam kosongnya masa. Naik perlahan membongkar sisa mungkin tertinggal dari perjamuan agung. Inilah sisa-sisa perjamuan begitu indah harum sedap bercampur dalam anyir begitu menyengat.
Apakah masih ada sedih? Apakah masih tersisa cerita?
Tanya-tanya itu tersisa di belakang kereta kencana: diagungkan sepanjang zaman. Orang-orang menundukkan muka: malu untuk lagi bersedih: tersenyum untuk lagi sakit.
Yogyakarta, 14 Pebruari 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H