Sepi telah menjadi pertarungan, seekor kunang mengembalikan dusta: mukamu senja baru saja berlalu; menoreh keyakinan pada kumandang raga.
Aku harus terbang melintasi batas-batas waktu menengok sempurna mata di balik jendela. Ada bohong aku ceritakan kepada angin; kepada wajah menunggu itu.
Sepi memang masih berlangsung. Sudut-sudut semesta mengutuk dendam: kepastianmu adalah hina dirayakan api dalam keraguan Bubat.
Cinta itu adalah darah dipaksa kehendak menaruh jiwa dalam temaram jingga. Tak usah berpikir lelah mereka akan memaksamu dalam kesucian melayang.
Sepi memang kenyataan harus dirayakan: dengan cinta terlanjur anyir.
Yogyakarta, 18 Pebruari 2008Â
TERSENYUM: UNTUK LAGI SAKIT
Membaca mata menangis itu seribu tahun terungkap kembali. Seribu duka pelan-pelan masuk dalam ketidaksadaran. Inilah cerita mungkin kau lupakan dan begitu saja kau sandarkan di pagar rumah: bersama hujan berbagi keringat, bersama panas berbagi kebekuan senyum.
Perjalanan ini begitu jauh, tak mampu mata dan telinga mengabdi pada otak. Namun, tangis itu mengakui ketakkuasaannya pada kebahagiaan yang ditakdirkan takdir itu direbut dari mimpi, dari nyata, dari tangis dari tawa. Kaki-kaki kurus merangkak dalam kosongnya masa. Naik perlahan membongkar sisa mungkin tertinggal dari perjamuan agung. Inilah sisa-sisa perjamuan begitu indah harum sedap bercampur dalam anyir begitu menyengat.
Apakah masih ada sedih? Apakah masih tersisa cerita?
Tanya-tanya itu tersisa di belakang kereta kencana: diagungkan sepanjang zaman. Orang-orang menundukkan muka: malu untuk lagi bersedih: tersenyum untuk lagi sakit.