Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kisah Cinta di Balik Nama Air Terjun Damarwulan dan Anjasmoro Jember

8 November 2021   13:39 Diperbarui: 25 Maret 2022   05:57 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Air Terjun Anjasmoro. Foto: Dokumentasi Pribadi

Dalam tradisi lisan masyarakat Jawa, kisah Damarwulan dan Anjasmoro merupakan salah satu epik yang sampai sekarang masih memukau. Kisah cinta yang melibatkan Anjasmoro, putri Patih Lohgender, petinggi Majapahit, dengan Damarwulan, seorang pemuda desa, tukang rumpat, begitu melegenda. 

Kisah tersebut dikatakan berasal dari Serat Damarwulan yang ditulis oleh pujangga di Mataram Islam pada tahun 1736. Secara kritis, kisah Damarwulan ini bertujuan mendeligitimasi kekuasaan Blambangan di Jawa Timur (kumparan.com).  

Terlepas dari persoalan tersebut, apa yang menarik dari kisah mereka berdua adalah kesetiaan sosok Anjasmoro. Ia menjaga kesetiaan hatinya, meskipun Damarwulan harus berjuang untuk mengalahkan Minak Jinggo dari Blambangan. Selain itu, ia harus merelakan Damarwulan berbagi hati dengan dua selir Minak Jinggo, Wahito dan Puyengan, serta Ratu Kencono Wungu. 

Meskipun kebenarannya sulit dibuktikan secara historis, kisah cinta Damarwulan-Anjasmoro tetap menjadi inspirasi publik. Banyak pertunjukan kesenian, seperti janger, kethoprak, dan ludruk yang menggunakan lakon Damarwulan. Selain itu kisah ini juga menginspirasi lahirnya tari-tari garapan. 

Keterkenalan kisan Damarwulan-Anjasmoro menginspirasi warga Dusun Paluombo, Desa Sumbersalak Kecamatan Ledokombo, Jember, untuk menamai dua air terjun di sana dengan nama air terjun Damarwulan dan Anjasmoro. Posisi air terjun Damarwulan berada di bawah air terjun Anjasmoro. 

Perihal pemberian nama tersebut, baru disematkan pada sekira tahun 2006 oleh pelaku seni Lipianto dan penggiat wisata Iwan. Nama tersebut dipilih, karena warga Sumbersalak secara turun-temurun mendengar tradisi lisan dari para leluhur yang mengatakan bahwa dari Dusun Paluombo Sumbersalak Damarwulan berasal. Tentu saja tradisi lisan ini tidak memiliki bukti historis. 

Namun, kita patut mengapresiasi penamaan tersebut karena didasarkan pada tradisi lisan leluhur dan untuk memberikan nama yang berkesan kepada kedua air terjun tersebut.

Jadi, kedua air terjun tersebut berasal dari satu sungai yang sumber airnya berasal dari kawasan Gunung Raung di perbatasan Jember-Banyuwangi. Namun, kalau kita ke sana, harus melewati Damarwulan terlebih dulu sebelum naik ke Anjasmoro. Kedua air terjun tersebut terbilang tidak terlalu tinggi dan mudah dijangkau.


Air terjun Damarwulan dikenal publik dengan sebutan mini Niagara, karena bentuknya yang kalau difoto mirip dengan air terjun Niagara, cuma dalam ukuran kecil. Karena airnya yang tidak begitu deras, banyak pengunjung, terutama remaja dan anak-anak yang melompat dari air terjun. Sebagian lagi bermain air dan mandi sepuasnya. Untuk anak-anak tentu harus didampingi orang tua atau saudara/kerabat yang lebih tua. 

Pengalaman bermain air yang melimpah tentu sangat baik bagi mereka. Setidaknya, kita bisa mengenalkan secara tidak langsung tentang pentingnya air bagi kehidupan manusia, sehingga generasi penerus bisa terus berusaha untuk memelihara kelestarian sumber air. Pendidikan informal melalui pengalaman langsung seperti itu biasanya lebih mengena dan akan terus diingat oleh anak-anak.

Sementara, kalau ingin menikmati air terjun Anjasmoro, kita perlu berjalan melalui pinggir sungai sekira 15 menit. Air terjun ini meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi cukup indah karena diapit oleh tebing sungai dengan pepohonan yang mengelilingi. Kaum remaja biasanya suka mandi langsung di bawah air terjun. Mereka senang sekali dengan sensasi terkena gerojokan air dari atas. 

Banyak dari mereka yang berfoto bersama lalu diunggah di media sosial. Tentu saja itu berdampak positif bagi penyebarluasan informasi keberadaan kedua air terjun ini ke masyarakat luas. Akan banyak warga atau wisatawan yang berkenan hadir berkunjung, menikmati kesederhanaan yang mempesona dari kedua air terjun tersebut. 


Untuk sampai ke air terjun ini, pengunjung butuh waktu sekira 50 - 60 menit dari arah kota ke Jember. Pengunjung bisa menggunakan sepeda motor atau mobil melalui jalur Jember - Banyuwangi, sesampai di pertigaan Sempolan belok kiri ke arah jalan Kalisat. 

Sesampai di selatan Balai Desa Suren, belok ke kanan lurus menuju Desa Sumbersalak. Bagi yang menggunakan sepeda motor bisa sampai lokasi. Sementara, bagi yang menggunakan mobil, harus diparkir di pelataran warga, karena mobil tidak bisa masuk sampai lokasi. 

Untuk masuk ke kawasan ini, para pengunjung cukup membayar uang Rp. 5.000 sudah termasuk ongkos parkir. Anak-anak muda yang mengelola penarikan biaya masuk. Mereka berasal dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sumbersalak. Hal ini cukup menggembirakan karena kaum muda bisa terlibat langsung dalam pengelolaan destinasi wisata. 

Memang, hal yang masih harus diperhatikan adalah kelengkapan fasilitas umum seperti kamar mandi untuk bilas dan ganti pakaian serta toilet belum ada. 

Ini tentu menjadi kelemahan yang harus segera dibenahi, karena pengunjung membutuhkan kenyamanan. Selain itu, warung makan dan minuman perlu menyediakan makanan dan minuman khas sehingga sekaligus bisa memperkenalkan kuliner lokal Sumbersalak. 

Air Terjun Anjasmoro. Foto: Dokumentasi Pribadi
Air Terjun Anjasmoro. Foto: Dokumentasi Pribadi

Ke depan Pokdarwis perlu mendesain acara rutin (tahunan, tengah tahunan, atau bulanan) yang menampilkan potensi seni, kuliner, kerajinan, dan pertanian, sehingga pengunjung mendapatkan sajian lengkap berupa keindahan air terjun dan atraksi budaya. Pengalaman tersebut tentu akan memberikan kesan tersendiri sehingga mereka akan menyebarkan informasi positif ke publik. 

Yang tidak kalah penting dipikirkan adalah mendesain kegiatan menanam bibit bambu atau pohon lain. Warga bisa melakukan pembibitan di kawasan tersebut. Para pengunjung bisa terlibat dengan membayar sumbangan sukarela sebelum mereka menanam bibit di kawasan pinggir sungai. Penanaman ini penting untuk mencegah longsor karena derasnya hujan. 

Para pengunjung diperkenankan menuliskan nama menulis nama mereka yang dibungkus plastik kecil yang diikat pada bibit. Kegiatan ini diharapkan akan mengikat mereka dengan pohon yang mereka tanam, sehingga mereka akan terikat secara psikologis. Diharapkan mereka akan berkunjung kembali untuk menengok pohon yang mereka tanam. 

Setidaknya, para pengunjung akan menanamkan rasa cinta terhadap alam yang telah memberikan cinta dan kasih luar biasa kepada manusia. 

Komitmen dan tanggungjawab ekologis memang tidak butuh retorika yang cukup luar biasa, tetapi tindakan nyata, sekecil apapun itu. Bukanlah alam juga tidak pernah lelah menghadirkan kebaikan kepada manusia. Sepertihalnya cinta yang tidak membutuhkan sumpah dari perempuan bernama Anjasmoro kepada Damarwulan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun