Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengelola Ruang Komunal: Alternatif Pengembangan Budaya Lokal

7 November 2021   08:23 Diperbarui: 7 November 2021   08:26 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuda Kencak Jember. Dok. Pribadi

Pertama, mendorong penelitian-penelitian kecil untuk memetakan dan mendokumentasikan kekayaan ekspresi budaya lokal di masing-masing daerah, meliputi ragam kuliner, persenjataan, kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, pakaian, cerita rakyat, permainan, arsitektur, dan lain-lain. Penelitian diarahkan kepada jenis-jenis ekspresi budaya lokal yang masih ada, hampir punah, dan sudah punah untuk mendapatkan peta potensi dan permasalahan. Dinas terkait bisa melatih para guru yang tersebut di wilayah mereka untuk mengerjakan penelitian-penelitian tersebut. 

Adapun hasilnya akan dijadikan bahan pertimbangan bagi formulasi program-program pelestarian dan pengembangan. Selain itu, para guru juga bisa menjadikan hasil riset mereka sebagai bahan pengayaan untuk proses pembelajaran. Tentu saja, setelah melalui proses supervisi oleh para pakar di daerah masing-masing.

Kedua,  pemerintah daerah bisa meminta pemerintah desa/kelurahan untuk menyediakan ruang komunal yang digunakan oleh anak-anak, remaja, dan kaum muda belajar dan mempraktikkan ekspresi budaya lokal berbasis hasil penelitian yang dilakukan para guru. Di ruang komunal itu pula para tokoh masyarakat, pendidik, tokoh agama, dan warga bisa bertemu dan mendiskusikan usaha-usaha bersama untuk memperkenalkan dan mengembangkan ekspresi budaya lokal di masing-masing desa/kelurahaan. Ruang komunal itu bisa berupa balai desa, balai dusun, balai RT, atau tanah lapang. 

Artinya, pemerintah daerah bisa menerapkan strategis revitalisasi ruang-ruang ekspresi yang sebenarnya sudah ada, tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Pemerintah juga bisa bekerjasama dengan taman bacaan atau taman bermain yang dikelola oleh perseorangan, LSM, atau yayasan, dengan menekankan tambahan muatan untuk ekspresi budaya lokal. Misalnya, para anggota taman bacaan bisa diajak belajar dan mempraktikkan cara pembuatan makan-makanan khas, berlatih permainan lokal, atau mendongengkan cerita-cerita rakyat.

Ketiga, pemerintah daerah bisa bekerjasama dengan institusi kesenian seperti Dewan Kesenian/Kebudayaan di tingkat kabupaten/kota untuk mendesain program-program pendampingan di tingkat desa atau kelurahan, khususnya berkaitan dengan pengembangan kesenian-kesenian daerah yang masih bisa memiliki pewaris aktif maupun pasif. Dewan Kesenian/Kebudayaan bisa mengirimkan para anggota atau sukarelawannya untuk terjun dan terlibat langsung dalam usaha memperkenalkan-kembali kesenian dan nilai-nilai filosofis yang ada di dalamnya. 

Tentu saja, Dewan Kesenian/Kebudayaan juga harus melibatkan para seniman dan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mentransfer pengetahuan tentang kesenian. 

Model nyantrik ke seniman dengan pendampingan Dewan Kesenian bisa menjadi alternatif regenerasi kesenian yang berada dalam status hampir punah. Keterlibatan Dewan Kesenian sekaligus bisa mempermudah kerja-kerja dinas terkait karena mereka hanya perlu melakukan supervisi dan evaluasi.

Keempat, pemerintah daerah melalui dinas terkait bisa bekerjasama dengan kelompok atau lembaga seni untuk mang-alih-wahana-kan---baik dalam bentuk tari, drama, atau film---cerita-cerita rakyat yang berkembang di masing-masing wilayah. 

Alih-wahana ini bisa menjadi jawaban dari kemonotonan model dongeng, apalagi anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda lebih biasa dengan budaya visual (Mirzoef, 1999). Kelompok-kelompok ludruk di Mojokerto, Jombang, Malang, atau Surabaya, misalnya, bisa diajak kerjasama untuk mementaskan lakon-lakon berdasarkan cerita rakyat di mana pementasannya diperuntukkan generasi penerus. 

Dengan model tersebut, kekayaan nilai-nilai positif bisa disampaikan dengan tampilan menarik dan tidak monoton, sekaligus bisa menumbuhkan kreativitas penggiat tari, drama, dan sineas. Ruang ekspresi komunal sekaligus bisa menjadi area untuk mempermudah penyerapan nilai-nilai positif dari cerita rakyat sekaligus unjuk karya para seniman sebagai bentuk kecakapan hibrid mereka; memanfaatkan teknologi dan kemampuan kreatif untuk mengkampanyekan nilai-nilai lokal.

Kelima, pemerintah daerah bekerjasama dengan institusi dan kelompok seni serta masyarakat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berbasis ekspresi budaya lokal. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilakukan dengan merevitalisasi ritual komunal yang sebelumnya sudah dilakukan warga, tetapi dengan menambahkan agenda-agenda baru yang mengarah pada upaya pengenalan-kembali kakayaan kultural masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun