Sayangnya, untuk tempat bermain dan jenis-jenis permainan lokal semakin terpinggirkan karena kehadiran bermacam game culture, seperti play station dan game on line yang semakin populer dalam kehidupan anak-anak, remaja, dan kaum muda; dari kota besar hingga dusun.
Namun demikian, bukan berarti usaha-usaha untuk memperkenalkan-kembali kekayaan ekspresi budaya lokal tersebut tidak bisa dilakukan. Dari fakta di lapangan, kita bisa menyaksikan bahwa masih ada tokoh LSM, pendidik, atau tokoh adat yang secara liat terus menggiatkan akivitas pemertahanan budaya kepada anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda. Mereka menciptakan ruang ekspresi komunal sebagai tempat mempertemukan generasi penerus dengan warisan leluhur yang masih bisa dikembangkan.Â
Di sinilah kita menunggu kontribusi serius negara, dari tingkat pusat hingga daerah, sehingga mekanisme penciptaan ruang ekspresi komunal bisa dilegitimasi dalam bentuk kebijakan yang jelas dan berpihak.Â
Selagi negara ini masih memosisikan budaya bangsa sebagai identitas dan kekuatan perekat, maka usaha pelestarian, pemertahanan, dan pengembangan ekspresi budaya lokal di tengah-tengah modernitas dan globalitas merupakan tanggung jawab segenap elemen bangsa ini; dari aparatus negara, penggiat LSM, tenaga pendidik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan warga.
Secara lebih terperinci, ruang ekspresi komunal memiliki beberapa peran strategis. Pertama, sebagai tempat untuk membincang permasalahan dan potensi ekspresi budaya lokal yang ada di masyarakat serta program untuk mengembangkannya.Â
Secara historis, gardu dusun, warung kopi, hingga balai dusun pada masa lalu menjadi ruang publik tempat warga bertukar-pendapat dan mengusulkan solusi-solusi permasalahan yang mereka hadapi.Â
Kedua, ruang ekspresi komunal yang bisa menjadi tempat untuk mewariskan kekayaan ekspresi budaya lokal yang masih ada di masyarakat kepada generasi penerus melalui aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Mereka bisa belajar sportivitas dan perjuangan melalui permainan lokal, belajar menabuh gamelan dan nembang, dan aktivitas-aktivitas lainnya.Â
Ketiga, sebagai filter terhadap masuk dan berkembangnya ideologi-ideologi radikal yang dibawa kelompok-kelompok tertentu karena warga selalu mengembangkan kewaspadaan dan generasi penerus mendapatkan alternatif kegiatan yang mengutamakan beragam nilai kultural. Keempat, kehadiran ruang ekspresi komunal bisa 'memperpanjang' daya-hidup budaya lokal di tengah-tengah potensi keseragaman sebagai akibat globalisasi (Banerjee, 2002; Hall, 2000; Hunnerz, 2000; Wise, 2000) dan sekaligus memperkuat daya-tahan keberagaman identitas kultural di masing-masing daerah.
Diakui atau tidak, selama ini, di Jawa Timur, pada khususnya, dan Indonesia, pada umumnya, kesadaran untuk menginisiasi penciptaan ruang-ruang ekspresi komunal lebih banyak dilakukan oleh individu-individu atau lembaga non-pemerintah (LSM, perkumpulan, yayasan, dan yang sejenis).Â
Di Jember, misalnya, kita bisa menjumpai Yayasan Tanoker dan Yayasan Untukmu Si Kecil yang menyediakan ruang bagi anak-anak dan warga sekitar untuk belajar permainan dan kesenian lokal, selain belajar ilmu pengetahuan modern. Tanoker bergerak dalam multi-bidang terkait ekspresi budaya lokal, seperti pelestarian permainan anak-anak, kuliner, nilai-nilai positif warga, dan aktivitas lainnya, selain memberikan pendidikan modern anak-anak desa. Untukmu Si Kecil juga bergerak dalam bidang permainan anak-anak dan pemberian kursus pendidikan modern bagi anak-anak tidak mampu di pinggiran kota Jember.Â