Gambar idoep, demikian sebutan untuk film di zaman kolonial, diputar pertama kali pada 5 Desember 1900. Kehadiran film merupakan tanda modernitas kolonial di tanah jajahan.Â
Bukan hanya berkaitan dengan kemajuan teknologi, tetapi juga hiburan dan pengetahuan tentang dunia yang lebih luas.Â
Kalangan elit Eropa, elit Tionghoa, elit Arab, dan elit pribumi bisa menikmati film dokumenter tentang perjalanan pimpinan Belanda dan film-film hiburan dari Amerika Serikat.Â
Para penonton itu tentu mendapatkan wacana-wacana baru tentang gaya hidup ataupun hal-hal yang berlangsung di luar Hindia Belanda.
Di wilayah perkebunan seperti Jember, dibukanya perkebunan dan pabrik gula juga membutuhkan hiburan. Maka, gedung bioskop dan gedung pertunjukan pun dibangun.Â
Tidak hanya di kota kabupaten, tetapi juga di pinggiran. Di Semboro dan Kencong, gedung bioskop Chandra dibangun karena di dua wilayah ini terdapat pabrik gula yang beroperasi sejak 1928.Â
Menurut informasi, selain sebagai tempat pemutaran film, gedung bioskop Chandra juga berfungsi sebagai tempat menikmati pertunjukan kesenian seperti kethoprak dan wayang wong.Â
Dibangunnya gedung bioskop menjadi penanda bahwa pemerintah kolonial berusaha memberikan hiburan kepada kelompok elit Eropa agar mereka betah tinggal dan bekerja di kawasan Jember. Selain itu, agar warga elit di masyarakat terjajah memberikan apresiasi terhadap kehadiran mereka.Â
Sementara, untuk para buruh perkebunan dan pabrik gula, pemerintah memberikan hiburan berupa pertunjukan kesenian rakyat. Hiburan itu perlu diberikan agar mereka bisa bergembira sehingga mereka tidak akan melakukan resistensi berlebihan terhadap para pekebun Belanda.