Sumartono dan warga Ngadas selama ini sudah terbiasa menikmati keuntungan finansial dari tanaman kentang, kubis, bawang pre, ataupun wortel yang harganya cukup menjanjikan. Dengan hasil panen itulah mereka bisa membangun rumah tembok berarsitektur kota dengan kelengkapan  seperti sofa, lemari, kulkas, televisi, dan kompor gas serta "besi Jepang": sepeda motor dan mobil.Â
Dengan hasil panen itu pula, mereka bisa membiayai sekolah atau kuliah anak-anak mereka di Probolinggo maupu kota-kota lain seperti Malang, Jember, dan Surabaya. Bahkan, melimpahnya panen selama ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi warga Tengger karena mereka bisa menabung untuk persiapan slametan besar seperti Entas-entas (upacara kematian terakhir pada tradisi Tengger).
Kepergian dua warga Desa Ngadirejo (desa di atas Ngadas) ke luar daerah untuk menanam sayur menandakan bahwa dorongan ekonomis dan desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak bisa ditawar lagi. Wong Tengger bukan lagi petani subsisten yang mengandalkan "jagung putih" sebagai konsumsi pokok seperti yang dijalani oleh para leluhur mereka sebelum bangsa Eropa memperkenalkan sayur-mayur.Â
Mereka selama ini sudah biasa makan nasi putih dengan lauk-pauk ikan, ayam, maupun daging yang dijual para mlijo (pedagang keliling) dari desa-desa Madura di bawah. Tentu saja, mereka membutuhkan cukup uang untuk membeli itu semua.Â
Kerugian juga tidak hanya dialami oleh para petani sayur-mayur, tetapi juga dialami oleh para sopir jeep yang biasa melayani rute Penanjakan-Bromo bagi para turis mancanegara maupun domestik.Â
Mereka yang biasanya bisa mendapatkan bayaran dari para turis harus rela memarkir jeep di halaman rumah, sembari setiap hari membersihkan pasir dan debu vulkanik. Pekatnya kondisi lingkungan lereng Bromo benar-benar sepekat perasaan batin mereka yang terpaksa harus bersabar dan hanya bisa menunggu berakhirnya letusan.Â
Maka, sembilan bulan letusan Bromo benar-benar menjadi ujian berat bagi masyarakat Tengger, baik yang secara administratif berdomisili di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, maupun Lumajang. Dorongan ekonomis untuk memenuhi kebutuhan hidup yang membutuhkan tindakan rasional dan ketaatan terhadap ajaran leluhur yang menuntut keyakinan tanpa harus menggugat otoritas tradisi (dhukun pandita, pemimpin adat dan religi) bertemu dalam gejolak batin wong Tengger.Â
Bagaimana tidak, mereka selama ini sudah menjalankan kearifan lokal dan slametan seperti diperintahkan dhukun pandita. Namun, mereka masih harus menerima bencana yang menunda semua keinginan ideal mereka. Penderitaan dan amarah akibat menanggung kerugian material menjadikan sebagian kecil masyarakat Tengger mulai menyalahkan otoritas tradisi dan otoritas pemerintahan desa.Â
Sedikit Menggugat Otoritas Religi dan Mekanisme Adat
Dhukun pandita mulai disalahkan karena masyarakat Tengger memang mempercayai mereka sebagai individu yang mumpuni dalam memimpin upacara maupun penanggalan Tengger.Â
Dhukun pandita adalah otoritas tradisi yang posisinya sangat dominan dalam kehidupan mereka. Sementara, Kepala Desa sebagai pemimpin formal diberikan kekuasaan untuk mengelola aspek-aspek administratif desa. Kepala desa selalu bekerjasama dengan dhukun pandita untuk menjalankan slametan besar seperti Unan-unan (bersih desa), Kasada, dan Karo.Â